Wednesday, April 8, 2020

MAKET BETTERPAD-RAY - Tipologi di Barat sebagai Acuan untuk Tipologi Arsitektur Indonesia


Tampak depan Maket Betterpad-Ray / Benteng Mural
[Arsitektur Barat memang terkenal di seluruh dunia. Bekas-bekas peninggalan kolonialnya dapat ditemukan di setiap benua berpenghuni. Maka, tidak heran bahwa arsitektur Eropa terus dipelajari dan dibandingkan dengan arsitektur di luar Barat. Indonesia yang mengalami masa kolonial memiliki banyak peninggalan arsitektur khas Eropa, terutama Belanda. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda umumnya berupa struktur tembok yang dicat dengan warna putih serta memiliki ukuran jendela yang besar. Bentuknya pun terbilang sederhana tapi megah. Maka, desain Bangunan Utama Betterpad-Ray pada maket Benteng Mural memakai gaya yang sederhana dengan ukuran jendela besar yang memang cocok digunakan sebagai kantor atau bangunan multifungsi.
Di Eropa atau Barat, perkembangan arsitekturnya memang melalui beberapa periode yang panjang. Setiap periode mempunyai gaya arsitektur tersendiri yang membuat kawasan Eropa memiliki gaya bangunan yang beragam. Di tangan dan pemikiran para ahli, kreativitas dalam hal arsitektur terus bergulir sesuai kebutuhan dan kondisi pada zamannya. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan atau studi banding bagi perkembangan arsitektur di Indonesia agar arsitektur tradisional juga dapat terus dikembangkan sesuai kebutuhan.
Desain Maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu Raya) adalah bentuk usaha untuk menampilkan gaya arsitektur tradisional yang mampu eksis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi yang dituju dari desain maket ini adalah kompleks bangunan yang memberi nilai edukasi, seni dan estetika, akomodasi beragam kegiatan, dan sosial kemasyarakatan. Meskipun sebagian besar bergaya tradisional, desain maket Benteng Mural juga menampilkan ciri khas bangsa lain, seperti Arab, Tiongkok, dan Eropa. Gaya tradisional yang dominan dipadukan dengan efisiensi ruang dalam gaya arsitektur modern sehingga dapat menjadi kompleks bangunan serba guna.]
Dalam sejarahnya, pendekatan tipologis dapat dibagi dalam tiga periode. Hal ini dikemukakan oleh sejarawan bernama Anthony Vidler. Periode pertama adalah “ensiklopedis” abad ke-19 dengan peran utama oleh Marc-Antoine (Abbe) Laugier. Gubuk primitif adalah sumber acuan yang digunakan dalam kasus ini. Dalam kelompok ini, yang pemikirannya paling memengaruhi periode selanjutnya adalah Jean-Nicolas-Louis Durand (1760-1834), dalam karya tulisnya: Summary of Lectures given at Ecole Polytechnique (1802-1805). Buku tersebut berisi kumpulan gambar pelbagai bangunan dari pelbagai negara dan zaman, yang dikelompokkan atas dasar penggunaannya dan digambar dengan skala yang sama, baik denah, potongan, maupun penampilannya. Durand mengambil beberapa elemen tektonis dari tiap-tiap kelompok yang menurutnya paling menentukan karakter masing-masing. Dari semua itu, dia mencampurkannya kembali membentuk pelbagai bangunan yang sesuai dengan kebutuhan baru. Sasaran yang dicapai Durand adalah fungsi yang lebih baru, efektif, dan ekonomis, seperti tiang-tiang bangunan dikurangi, luas dinding lebih sempit, bahan yang lebih murah, dan sebagainya. Dengan adanya komposisi baru yang belum pernah ada sebelumnya, Durand menciptakan gaya arsitektur yang dianggap sesuai dan tepat guna.
Dalam pendapat lain, adanya elemen-elemen struktur bangunan yang digunakan untuk menopang bagian atas dan memberi kekuatan bangunan biasanya berukuran besar dan menyita tempat. Biasanya, bangunan dengan ukuran ruangan yang tinggi membutuhkan daya penopang yang besar. Tentu tujuannya untuk menciptakan suasana ruang yang lega dan luas serta menunjukkan kemegahan. Biaya yang besar dibutuhkan untuk bangunan-banguan sejenis ini. Memang, terutama menurut pandangan modern yang praktis, usaha untuk bermegah-megahan tidak sebanding dengan fungsi ruangan yang sebenarnya tak butuh ukuran berlebihan. Maka, untuk menciptakan karya arsitektur yang indah namun efektif dan ekonomis, gaya megah pun dihilangkan. Terutama dengan adanya pengurangan tiang, baik jumlah maupun ukuran, jumlah dan ukuran ruangan bisa ditambah sehingga fungsinya semakin lebih banyak. Biaya pembangunan juga bisa ditekan. Apa lagi, sebenarnya manusia hanya butuh tempat berlindung yang nyaman, tak perlu yang terlalu berkilauan dan boros.
Di akhir abad ke-19, muncul periode kedua di mana usaha-usaha yang ada untuk merespon tantangan revolusi industri. Dalam ruang lingkup teoretis, pelopor dalam hal ini adalah Walter Gropius. Namun, Le Corbusier adalah yang pertama kali merealisasikannya dalam merancang perumahan di Pesac, Prancis. Intinya, penafsiran atas sebuah proses digunakan sebagai model dalam perancangan, seperti yang juga terjadi dalam mekanisasi pembuatan barang secara massal di era industri baru. Elemen-elemen tektonis tidak lagi menjadi perhatian utama dalam perancangan karya arsitektur, tetapi komponen-komponen fisiknya yang diproduksi secara massal setelah dirasionalisasikan terlebih dahulu.
Pendekatan tipologi dari kedua periode tersebut sangat berorientasi kepada bentuk, rasio, dan teknologi. Pada periode pertama, langgam arsitektur yang spesifik untuk tiap-tiap fungsi bangunan tertentu menjadi kebiasaan yang sering muncul. Misalnya, bangunan pemerintahan memakai langgam klasik, gedung keagamaan memakai langgam Gothic, bangunan publik menggunakan langgam campuran, dan sebagainya. Pada dasarnya, bukan tujuan seperti itulah yang dimaksud Durand. Yang merupakan hasil dari periode kedua adalah konsep arsitektur berlanggam Internasional (International Style) yang dapat diketahui dengan mudah oleh banyak orang. Langgam ini dikomersiilkan sejak tahun 1950-an.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahan, alat, dan bahkan bentuk bahan jadi yang siap dirangkai telah beredar di toko-toko yang bisa dijangkau. Dengan adanya industri modern, produsen bisa membuat bahan bangunan yang seragam dan diberi merek agar mudah dikenali pengunjung. Hal ini berbeda dengan zaman pra-industri modern yang masih jarang ditemui bahan jadi yang siap dirangkai. Misalnya, rangka atap pada zaman dahulu dibuat dari bahan alam seperti kayu yang ukurannya berbeda-beda, sehingga perlu diukur dan dipotong agar memperoleh ukuran yang tepat dan sesuai kebutuhan. Di zaman sekarang, ukuran bahan rangka atap sudah tersedia dalam ukuran dan luas permukaan alas yang sama. Bahan modern juga mudah dipotong dengan alat modern. Pada bangunan umum pun, pada zaman dahulu belum ada bahan-bahan yang dijual dengan ukuran sama, kecuali genteng dan bata. Di zaman sekarang, rangka konstruksi bangunan sudah diproduksi dengan ukuran yang sama dan bisa disesuaikan dengan pemotongan.
Periode ketiga terjadi pada tahun 1960-an, namun baru diperhatikan oleh para arsitek di tahun 1970-an hingga sekarang. Vidler menyebut mereka dengan sebutan “para Rasionalis generasi ketiga”. Mereka juga disebut “para Neo-Rasionalis yang menerapkan  pengertian yang sebenarnya” yang dikatakan oleh Kenneth Frampton. Laugier menuliskan tentang poin-poin tentang apa yang dilakukan oleh mereka:
1.      Melihat makna arsitektur sebagaimana diwariskan oleh bentuk-bentuk yang terjadi pada masa lampau.
2.      Memilih bentuk-bentuk dasarnya berdasarkan pewarisan di poin sebelumnya.
3.      Membuat usulan perancangan atas dasar pengkomposisian kembali bentuk-bentuk dasar hasil pewarisan yang telah disebutkan.
Contoh dari hal tersebut adalah monumen karya Aldo Rossi dari Italia yang terdiri dari tiga bentuk dasar, yaitu lingkaran, kotak, dan segitiga. Bentuk dasar lingkaran menjadi sebuah kolom, kotak menjadi dinding, dan segitiga menjadi atap yang menumpu pada dinding dan ditopang oleh kolom. Namun, bukan karya mirip gubuk primitif yang dibuat, melainkan digeser sehingga masing-masing elemen mendukung yang lainnya hanya di satu titik saja.

Piazza e Fontana Monumentale karya Aldo Rossi
Sumber: Google Maps Street View
Pemikiran manusia tentang arsitektur semakin berkembang. Namun pada dasarnya, saat sudah mencapai tingkat kerumitan tertentu, manusia ingin kembali melihat bentuk-bentuk dasar yang sederhana, namun dengan pengolahan yang berbeda dari zaman awal mula adanya struktur bangunan. Terlihat monumen karya Aldo Rossi ini terlihat sangat sederhana.. Digambar pun mudah tanpa ada kesulitan. Namun, karya tersebut memang hal yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh manusia. Yang jelas lagi, struktur tersebut tidak digunakan sebagai bangunan pelindung manusia, tapi sebagai monumen peringatan suatu peristiwa. Maka, proses kreasi bisa dilakukan lebih luwes tanpa memerhatikan faktor kenyamanan dan kebutuhan jasmani.


Tampak Atas Desain Maket Betterpad-Ray / Benteng Mural
[Pada dasarnya, bentuk rumah atau bangunan fungsional pun tidak perlu rumit. Yang berbentuk sederhana sudah cukup asal aman dan nyaman. Yang unik, dengan kreativitas tertentu, ragam bentuk sederhana yang digabungkan dengan posisi tertentu bisa menciptakan estetika yang nyaman dipandang. Desain Maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu Raya) / Benteng Mural adalah komposisi dari bentuk-bentuk dasar yang dapat ditemukan pada ragam model bangunan. Dilihat dari atas, desain Maket kompleks bangunan ini tersusun dari bentuk-bentuk dasar sederhana yang diatur sesuai fungsi dan ukurannya. Tidak terlihat ada bentuk yang sangat tidak lazim dari biasanya. Bangunan sederhana umumnya berbentuk lantai segi empat karena mudah dibentuk dan tidak menghabiskan tempat. Gambar lingkaran di tengah halaman kompleks bangunan menunjukkan bahwa desain bangunan memerhatikan keindahan yang berasal dari perpaduan bentuk dasar dan garis lengkung yang menampakkan keluwesan.]
Sasaran tipologi dari generasi Neo-Rasionalis yang menjadi tempat untuk diterapkan adalah kota-kota besar di Eropa atau daerah-daerah pinggiran yang masih memiliki pemandangan asli. Dalam hal perkotaan, kota dipandang sebagai sekumpulan bangunan dengan variasi bentuk dan fungsi objek arsitektural, kemudian sisi historisnya semakin tenggelam oleh kemajuan industri. Perlu dicari sebuah model historis yang bisa menggambarkan pola kehidupan sosial yang ideal untuk merespon masalah itu. Kemudian mencari aspek-aspek pembentukan fisik yang paling tepat dari model tadi yang mampu menggambarkan kehidupan ideal dan ditelusuri bentuk-bentuk dasarnya. Menurut Leon dan Rob Krier, zaman Pertengahan dipandang sebagai masa yang bisa menampilkan pola kehidupan sosial paling ideal dari masyarakat Eropa. Ada dua aspek yang menjadi kriteria ideal yang dimaksud, yaitu Alun-alun (atau “Squares”, berupa ruang/lapangan terbuka yang semua sisinya dikelilingi bangunan) dan koridor atau selasar lebar di antara dua deret bangunan, bisa tertutup maupun terbuka, dan bisa juga berupa selasar di pinggiran bangunan. Dari Alun-alun dan selasar dapat dicari bentuk-bentuk dasarnya yang terlihat dan ditentukan elemen-elemen tektonis yang menyusunnya. Maka, semua tadi dapat disusun dengan komposisi baru sehingga menghasilkan karya arsitektur yang tidak mengulang model yang telah ada, meskipun bentuk-bentuk dasarnya tetap jelas terlihat.
Di tingkat regional atau daerah, aktivitas menyusun bentuk-bentuk dasar juga terjadi sesuai dengan daya kreativitas. Misalnya, apa yang dilakukan oleh seorang arsitek bernama Mario Botta terhadap objek arsitektural bersifat kedaerahan yang dilihatnya. Awalnya, dia akan menentukan bentuk-bentuk dasar yang dominan dari objek arsitektural yang diamatinya dengan cermat. Ciri-ciri yang paling terlihat dari bangunan-bangunan di wilayah tersebut juga dicari dan diidentifikasi, misalnya bahan berupa kayu atau dinding bata. Usai tahap tersebut, dia membuat anjuran bentuk-bentuk dasar berdasarkan fungsi bangunannya. Perancangan dan pengaturan yang dilakukan seringkali tak terpikir oleh banyak orang, namun tetap dengan orientasi yang jelas, yaitu menunjukkan dan menghidupkan suasana terbaik suatu wilayah dari dalam bangunannya. Setelah itu, karakter bangunan kedaerahan di wilayah tersebut diulangi lagi tanpa menampilkan sumber aslinya. Misalnya: dinding beton pada bangunan baru diberi warna bata, atau komposisi warna yang membentuk motif susunan bata.

Complesso polifunzionale area ex-Appiani, karya Mario Botta
Sumber: Google Maps Street View/Massinissa Dalla Costa
[Di Indonesia, konsep tentang alun-alun dan fungsi bangunan sudah dikenal lama. Di setiap daerah di Indonesia, pasti punya ruang terbuka publik tersendiri atau lapangan yang umumnya mengakomodasi kegiatan massal, seperti upacara adat dan permainan tradisional. Biasanya, lapangan tersebut letaknya berada di tengah pemukiman sehingga semua warganya bisa mudah berkumpul untuk mengikuti prosesi acara. Khusus di Jawa, ada desain tata kota tradisional yang diterapkan pada keraton atau pusat kota dengan alun-alun di tengahnya. Alun-alun adalah lapangan luas yang biasanya digunakan untuk acara atau kegiatan massal. Biasanya, alun-alun berbentuk segi empat dan terkadang di tengahnya ada pohon (biasanya beringin). Di samping keempat sisi alun-alun terdapat bangunan-bangunan khas kota yang memiliki fungsi signifikan. Alun-alun dan setiap bangunan dipisahkan oleh jalan penting yang mengitari alun-alun dan tersambung dengan jalan-jalan lainnya. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun, keraton atau kantor pemerintahan berada di sisi selatan, fungsi hukum dan pengadilan berada di sisi timur, dan pasar berada di utara. Sebenarnya dan faktanya, hal ini tidak harus dilakukan dan posisinya pun bisa berbeda kecuali untuk masjid. Yang pasti, alun-alun harus dikelilingi bangunan-bangunan yang penting dan strategis.]
Desain Masjid Syahadat


Desain Pendapa Peradaban


Desain Bangunan Utama Betterpad-Ray
[Pada desain Maket Betterpad-Ray, terdapat halaman utama yang didesain berukuran luas agar dapat mengakomodasi pelbagai kegiatan dengan nyaman dan lega. Masjid sangat penting posisinya bagi umat (masyarakat) Muslim, sehingga desain Masjid Syahadat terletak tepat di samping barat halaman utama. Sedangkan Pendapa Peradaban yang berfungsi sebagai ruang publik semi-terbuka berada di dekat halaman utama menuju arah masuk kompleks utama agar mudah diakses. Bangunan Utama yang berukuran paling besar dan pasti dianggap memiliki fungsi paling penting berada di bagian pusat Benteng Mural. Bangunan Utama didesain berbentuk persegi yang mengelilingi ruang kosong atau taman kecil di tengahnya agar sisi dalam bangunan juga memperoleh cahaya matahari. Hal ini adalah desain yang umum ditemukan di bangunan-bangunan penting di Barat atau bangsa lainnya.
Demikian artikel yang tercampur antara ilmu pengetahuan dan pembahasan mengenai desain Maket Betterpad-Ray ini. Tidak ada karya tulis yang sempurna, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Sempurna. Mohon maaf bila ada kesalahan dan mohon kritik serta saran. Terima kasih.]


Referensi:
§  Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. Jati Diri Arsitektur Indonesia. 1997. Bandung: Penerbit Alumni.  *Termasuk oleh: Ir.Budi A. Sukada,Grand.Hond,Dipl.(AA), seperti yang tercantum dalam buku referensi.
(https://archive.org/stream/BukuArsitektur/1140_Jati%20Diri%20Arsitektur%20Indonesia#page/n1/mode/2up)

No comments:

Post a Comment

BETTERPAD-RAY MOCKUP - Materiaal van de muur van de Shahada-moskee (Masjid Syahadat)

"Sorry If There Is A Deficiency / Error In Translation From Indonesian To Related Languages, Because It Only Uses Google Translate"...

Popular posts