Angin malam berembus
dari lereng Gunung Gamalama menuju pesisir pantai Pulau Ternate. Langit malam
begitu bersih tanpa awan sehingga bintang-bintang tampak berkelip-kelip. Saat
itu sedang fase bulan baru sehingga pemandangan kota Ternate menjadi gelap jika
saja tak ada penerangan dari lampu-lampu jalan dan lampu-lampu dari
bangunan-bangunan. Suasana itulah yang dirasakan Encer Kartoredjo dan Hawa Kusumadaya
saat berjalan di trotoar jalan setelah makan malam dan melakukan sembahyang di
suatu restoran. Keduanya sedang menuju rumah seorang profesor kenalan mereka
yang bernama Profesor Bahruddin karena diundang untuk melihat dan mencoba suatu
permainan yang dibuat Profesor. Saat keduanya sedang berbincang mengenai pemandangan
kota Ternate, tiba-tiba muncul garis bercahaya di langit malam yang terpantul
di mata mereka. Itu adalah meteor jatuh.
“Wah, lihat itu,
Encer! Ada bintang jatuh! Aku ingin membuat permohonan!” seru Hawa sambil
tersenyum kagum. Hawa adalah teman Detektif Encer sejak SMA yang kini merupakan
seorang mahasiswa jurusan sejarah semester kelima di suatu universitas di Solo.
“Sungguh indah pemandangan
ciptaan Allah! Kalau tentang permohonan, kamu tak perlu menunggu bintang jatuh.
Cukup berdoa dan berusaha. Serahkan segala sesuatu kepada Allah. Maka, kau akan
menikmati hasilnya.” ujar detektif mahasiswa jurusan arsitektur semester kelima
di universitas yang sama itu.
Garis putih di
langit itu terus bergerak hingga menghilang di suatu titik di cakrawala. Encer
berucap, “Itu meteor jatuh. Mungkin serpihan dari benda-benda antariksa
memasuki atmosfer dan terbakar habis sebelum sempat mencapai permukaan Bumi.”
“Untung saja
ada atmosfer sebagai pelindung Bumi, ya?” ucap Hawa.
Beberapa puluh
meter kemudian, keduanya sampai di depan sebuah rumah besar berlantai dua dan
dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di samping gerbang yang tertutup ada
sebuah kamera berjarak dua meter dari tanah dan ada beberapa tombol di
bawahnya. Lalu, Encer menekan tombol untuk menghubungi orang di dalamnya.
“Assalamu’alaikum!
Kami berdua adalah Encer dan Hawa. Kami diundang oleh Profesor untuk bertemu
pada malam ini.”
Seorang
laki-laki menjawab melalui speaker, “Wa’alaikumsalam. Saya
adalah penjaga rumah ini. Kalian memang sudah ditunggu Profesor malam ini.
Silakan masuk!”
Tiba-tiba,
kedua pintu gerbang terbuka sendiri dengan cara bergeser ke samping. Keduanya
diajak masuk oleh seorang laki-laki berkumis di dalamnya. Dia memperkenalkan diri
sebagai penanggung jawab urusan rumah Profesor. Lalu, mereka berdua memasuki
halaman rumah Profesor yang cukup luas. Laki-laki berkumis itu mengantar
keduanya sampai ke dalam ruang tamu rumah itu. Profesor Bahruddin sudah duduk
sambil menunggu di sebuah kursi berukir indah. Lalu, keduanya berjabat tangan
dengan Profesor dan dipersilakan duduk. Profesor Bahruddin adalah dokter
spesialis saraf berdarah Papua yang menjadi guru besar di suatu universitas di Ambon.
Mereka bertiga berbincang-bincang hangat mengenai hal-hal yang ringan sebelum hal
yang utama dikatakan oleh Profesor.
“Nak Encer dan
Nak Hawa! Saya mengundang kalian ke sini untuk menguji alat permainan komputer
yang baru-baru ini saya buat bersama asisten saya. Permainan komputer ini
adalah permainan canggih yang dapat terhubung ke saraf manusia sehingga pemain seperti
dapat merasakan efek dan suasana secara sungguhan. Selain kalian, telah ada dua
orang yang datang lebih dahulu. Mari, saya antar kalian ke laboratorium!” ujar
Profesor.
Maka, kedua
muda-mudi itu mengikuti langkah Profesor melewati beberapa ruangan hingga
sampai di suatu laboratorium yang cukup luas yang masih berada di lantai satu.
Di situ ada seorang laki-laki muda yang mungkin sedikit lebih tua dari Encer
dan Hawa. Laki-laki itu berwajah seperti orang Eropa dengan rambut hitam.
Selain itu, terlihat beberapa layar komputer dengan susunan tombol-tombol yang
rapi di depannya. Yang lebih aneh, terlihat ada empat buah kapsul seukuran
pintu ruangan sehingga orang dapat berbaring di dalamnya.
Laki-laki
berwajah Eropa itu mengenalkan diri setelah berjabat tangan dengan Encer dan
Hawa, “Selamat datang, Encer dan Hawa! Nama saya Stanley Niel. Saya berasal
dari negara Blu (nama negara samaran) di Eropa. Saya adalah asisten Profesor Bahruddin
yang kini menempuh pendidikan magister ilmu komputer di Universitas Nasional
Blu. Saya di Indonesia untuk melengkapi tugas kuliah saya di bidang komputer.
Saya menguasai tujuh bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Saya juga suka pergi ke
Bali, Lombok, dan Labuan Bajo.”
Lalu, ada dua
orang yang masuk ke laboratorium dengan mengatakan bahwa mereka baru saja dari
kamar mandi. Itulah kedua orang yang dimaksud Profesor. Kedua laki-laki itu
tampak seumuran dengan Encer dan Hawa. Encer dan Hawa berkenalan dengan mereka.
“Nama saya
Satria Balansoa Ambat. Saya taruna Akmil tahun ketiga yang diundang ke sini.”
kata pemuda berambut pendek dan bertubuh tinggi besar itu dengan tegas.
Lalu, pemuda
lain berambut sedikit ikal berkata dengan nada santai namun jelas, “Saya Hiro
Daniel. Saya mahasiswa jurusan hukum tata negara semester kelima.”
Profesor
menjelaskan bahwa Hiro adalah putra Duta Besar Tropika (nama negara samaran
yang dekat Indonesia) untuk Indonesia. Sedangkan Satria adalah putra Duta Besar
Indonesia untuk Tropika. Hiro adalah mahasiswa di universitas terbaik di
Tropika. Dia mendalami ilmu hukum karena ingin menegakkan dan memperkuat hukum
di negaranya. Menurutnya, Tropika mengalami masalah hukum yang parah seperti kasus
korupsi dan pelanggaran HAM sehingga negaranya masih belum maju. Sedangkan
Satria adalah seorang taruna Akmil yang selalu masuk peringkat lima besar. Dia
ingin mengabdi kepada negara dengan cara menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Sambil duduk di
depan layar komputer yang paling besar, Profesor berkata, “Mesin besar yang
kalian lihat ini bernama Statnia, juga merupakan nama permainan ini. Inti
permainan ini adalah bahwa kalian akan memimpin suatu negara dan berusaha untuk
mencapai tujuan negara tersebut. Kalian akan punya peran masing-masing dalam
uji coba ini. Kalian akan masuk ke dalam kapsul yang telah disediakan dan saraf
kalian akan terhubung ke komputer sehingga permainan akan terasa nyata. Tenang
saja, saya sudah menguji permainan ini kepada para pegawai saya dan dijamin
aman. Waktunya cukup malam ini saja”.
Profesor
menjelaskan bahwa dia ingin menciptakan simulasi penyelenggaraan negara agar
generasi muda bisa memimpin bangsa dengan baik, tidak seperti para pejabat sekarang
yang sudah mengalami banyak kasus. Tanpa ragu, keempat muda-mudi itu masuk ke
dalam tiap-tiap kapsul. Encer pun berbaring di dalamnya dengan mengucapkan kalimat
bismillah. Keempat kapsul sudah ditutup dan permainan segera dimulai.
Beberapa detik
kemudian, Encer dan kawan-kawan merasa berada di dalam suatu ruangan kubus
dengan dinding berwarna kuning dan panjang rusuk 10 meter. Mereka melihat
keadaan sekeliling yang kosong tanpa benda lain. Tiba-tiba, mereka dikejutkan
dengan suara mirip bunyi sirene mobil polisi, dilanjutkan dengan suara
seseorang yang menyapa mereka.
“Halo, para
pejuang permainan negara Statniamania! Maksudku adalah Encer, Hawa, Satria, dan
Hiro! Kalian pasti tahu suaraku ini tadi! Ya, aku Stanley Niel! Sebenarnya aku
telah menyisipkan misi rahasiaku ke dalam program ini tanpa sepengetahuan
Profesor. Aku datang ke Indonesia untuk mengumpulkan informasi rahasia negara
ini dan akan kukirimkan ke negaraku melalui jaringan internet dengan kode-kode
yang rumit. Nah, aku masih berbaik hati karena negara ini indah. Jika kalian
bisa memecahkan masalah dalam permainan ini dalam waktu semalam, maka informasi
rahasia itu tidak akan bocor ke negaraku dengan sendirinya. Jika tidak bisa
sampai pagi nanti, kalian pasti tahu akibatnya. Petunjuknya ada dalam permainan.
Profesor yang bisa melihat pikiran kalian melalui layar monitor juga telah
menjadi sanderaku, sehingga tidak akan bisa membantumu melalui mikrofon atau
berbuat hal lain. Selamat berjuang!” itulah suara Stanley dengan nada kejam.
“Aku tidak akan
membiarkan hal ini terjadi meskipun ini bukan negaraku dan dia akan menerima
hukumannya!” ujar Hiro.
“Terlebih aku.
Sebagai taruna Akmil, aku telah disumpah untuk setia kepada NKRI. Ayo,
semangat!” seru Satria dengan lantang.
Encer berkata,
“Allah akan selalu bersama kita dan negara Indonesia asal kita mau berjuang.”
Lalu, muncullah
empat portal di atas diri mereka masing-masing dan mereka semua tersedot ke
dalam portal tersebut menuju tiap-tiap dimensi lain.
Setelah
melewati lorong spiral panjang yang berliku, Encer pun sampai di sebuah kamar
tidur beserta ruang kerja dengan posisi duduk di sebuah kursi. Encer mengamati
keadaan ruangan tersebut. Tempatnya begitu rapi, bersih, dan luas. Ruangan itu memiliki
jendela yang memperlihatkan sinar matahari pagi, ranjang tidur, lemari, meja,
kursi, rak buku, jam, kalender, komputer, dan lain-lain. Mata Encer tertuju
pada sebuah buku berwarna hitam di atas meja kerja. Encer menghampiri meja dan
mengambil buku itu. Sampul buku itu bertuliskan Catatan Detektif dengan
nama lengkap Encer di bawahnya. Encer membuka buku itu dan dia membaca berbagai
kasus-kasus yang pernah ditangani dalam dunia komputer itu. Dia mengetahui
bahwa dia sedang menjadi Warga Negara Kopisia dan dia sedang berada di ibukota
negara itu, Juniharja. Artinya, dia sedang berperan sebagai detektif dalam
permainan itu.
Encer menutup
buku dan melihat keadaan sekitarnya lagi. Dia melihat sebuah rak buku yang
penuh berisi koran-koran. Namun, di depan bagian bawah rak itu terdapat dua
buah koran yang berserakan. Encer mengambil salah satu koran dan membaca
halaman depan koran tersebut dengan tanggal terbit 2 Oktober 1999. Padahal,
kalender di ruangan itu menunjukkan bulan September tahun 2049. Artinya, koran
itu terbit sekitar 50 tahun yang lalu. Dia membaca berita tentang meteor jatuh
yang menghantam kawasan kota Gerbang di negara Tehia, sebuah negara di luar Kopisia.
Tragedi itu terjadi pada tanggal 1 Oktober 1999. Koran itu menjelaskan bahwa
meteorit kecil telah merusak sebagian gedung Our Care Hospital di Gerbang. Encer
membaca artikel itu sampai selesai. Kemudian, dia membaca sekilas artikel-artikel
lainnya, namun tidak begitu menarik.
Lalu, Encer
mengambil koran yang satunya lagi dengan tanggal terbit 12 September 2019. Encer
berpikir bahwa mungkin koran itu terbit hari ini. Dia membaca artikel di
halaman paling depan dengan judul “Presiden Bingung karena Negara Terlilit
Banyak Utang”. Artikel itu menjelaskan bahwa Presiden Kopisia, Bapak Hari,
sedang mencari solusi dalam menghadapi krisis di negaranya. Encer membaca
artikel koran itu sampai selesai. Dia membuka halaman-halaman selanjutnya dan
ketika membaca halaman berita mancanegara, Encer fokus untuk membaca berita
berjudul “Gerakan Separatis dan Sengketa Wilayah di Negara Juseika”. Diketahui
bahwa Presiden Juseika, Tuan Dylan, sedang pusing karena negaranya mengalami
masalah kedaulatan. Encer membaca artikel itu sampai selesai dan dia
melanjutkan membaca sekilas pada halaman-halaman selanjutnya. Namun, Encer
masih belum menemukan penunjuk apa-apa. Alasan Encer fokus membaca ketiga
artikel tersebut adalah karena artikel lain hanya memberitakan kasus para
selebriti yang dianggapnya tidak sesuai tema permainan.
Ketika Encer
hendak merapikan kedua koran tadi, ponsel di saku jaketnya berdering keras.
Rupanya dia bisa memiliki ponsel dalam permainan Statnia itu. Encer merogoh
saku jaket dan mengangkat ponselnya. Dia melihat layar bertuliskan nama Hawa
yang sedang meneleponnya. Encer menerima panggilan itu dan mendengarkannya.
“Halo, ini Encer,
kan?” tanya suara perempuan tersebut.
“Ya, aku Encer.
Di panggilan ini juga tertulis namamu, Hawa. Oke, langsung saja. Aku berperan
sebagai detektif di negara Kopisia dan tinggal di ibukotanya, Juniharja. Aku menemukan
beberapa artikel koran yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Kalau kamu?” tanya Encer.
“Aku berperan
sebagai ahli sejarah dan penulis biografi di sebuah negara bernama Juseika. Aku
tinggal di ibukotanya, Lawton. Aku akan memberitahumu tentang hal yang bisa
menjadi petunjuk sekaligus akan kukirimkan gambar petunjuk itu melalui aplikasi
chat. Ketika aku membaca buku catatan bertuliskan namaku, aku menemukan
daftar beberapa tokoh dunia komputer ini yang penah kuwawancarai. Namun, hanya
ada nama dua tokoh yang dilingkari. Keduanya adalah Tuan Dylan, Presiden
Juseika, dan Bapak Hari, Presiden Kopisia. Uniknya, mereka lahir di tempat dan
pada tanggal yang sama, yaitu Our Care Hospital di Gerbang pada tanggal 1
Oktober 1999.”
Setelah
menghela napas, Hawa melanjutkan, “Tuan Dylan dikenal sebagai ahli hukum
terkemuka dan jujur di Juseika sehingga dia dipinang oleh Partai Glory untuk
menjadi calon presiden pada tahun 2042. Dia memenangkan pemilihan dan dilantik
menjadi presiden pada tahun itu juga. Berkat kebijakannya di bidang hukum,
kasus korupsi di Juseika menurun drastis. Pertanian diperkuat dan industri
digalakkan sehingga negaranya makmur. Tuan Dylan pun terpilih lagi pada tahun
2017. Namun, dia mengalami masalah besar. Di Juseika muncul gerakan separatis
di provinsi Greenfarm karena perbedaan budaya dan merasa bisa berdiri sendiri
karena provinsi itu mendapat peringkat ketiga dalam hal pendapatan dari 40
provinsi. Juseika juga mengalami masalah sengketa pulau dengan negara tetangga,
Yoguta. Dia terlihat bingung menghadapi masalah itu.”
Setelah jeda sebentar,
Hawa meneruskan, “Bapak Hari adalah perwira militer terkenal yang mengundurkan
diri lebih awal karena dipinang oleh Partai Makmur untuk menjadi calon presiden
pada tahun 2042 dan terpilih saat itu. Dia dikenal sebagai seseorang yang mampu
memenangkan kasus sengketa Pulau Ayam Putih dengan negara tetangga, Taria. Dia
juga menghentikan gerakan separatis provinsi Tanah Minyak di Kopisia melalui
jalan militer dan perundingan. Di masa kepemimpinannya sejak tahun 2042,
kedaulatan dan stabilitas negara terjaga. Namun, utang pembangunan negara itu
terus menumpuk sejak beberapa dekade sehingga dia merasa kesulitan. Encer,
kalau petunjuk yang kamu kumpulkan?”
“Hentikan dulu
panggilan ini! Aku akan mengirim gambar koran petunjuk itu kepadamu. Aku sudah
punya dugaan.”
Lalu, Encer
menutup panggilan. Dia segera memotret artikel-artikel tadi dan mengirimnya ke nomor
Hawa. Disuruhnya Hawa untuk menghubunginya lagi jika sudah selesai membaca.
Belasan menit kemudian, Hawa menelepon lagi dan Encer menerimanya.
“Bagaimana pendapatmu,
Encer?” tanya Hawa.
“Aku menduga
bahwa mereka adalah presiden yang tertukar. Menurutku, itulah tema permainan
ini. Mereka mungkin tertukar saat meteor merusak sebagian rumah sakit karena
penyebab tertentu. Kita bisa membuktikannya dengan mencari rekaman kejadian itu
kepada pihak rumah sakit atau oknum yang bersangkutan, tepatnya mencari rekaman
di ruang bayi pada tanggal itu. Di daftar nomor ponselku hanya ada tiga orang,
yaitu kamu, Satria sebagai Duta Besar Kopisia untuk Juseika, dan Hiro sebagai
Duta Besar Juseika untuk Kopisia. Daftar nomormu pasti juga sama. Aku akan
menjelaskan hal ini serta mengirim bukti kepada keduanya. Kamu juga lakukan hal
yang sama! Mereka pasti paham.”
Lalu, panggilan
itu ditutup. Encer segera menghubungi Satria dan Hiro melalui panggilan dan
aplikasi chat. Encer menjelaskan permasalahan itu secara panjang lebar.
Maka, Satria dan Hiro hendak membicarakan masalah ini kepada Konsulat Jenderal
di Gerbang. Encer yang sudah sibuk selama 180 menit mencoba untuk beristirahat sebentar
di ruangan itu. Dia mencoba keluar melalui pintu ruangan namun tidak bisa
karena ada pembatas tak terlihat. Maka, dia membaca buku berjudul 100 Tokoh
Indonesia yang ditemukannya di rak. Rupanya buku di dunia nyata bisa berada
di dunia komputer. Setelah 70 menit membaca, tiba-tiba muncul portal di hadapan
Encer yang membawanya ke dimensi lain.
Encer pun tiba
di suatu ruangan dan melihat ada empat orang lain di sana. Mereka adalah Hawa,
Satria, Hiro, dan satu orang yang belum dikenal.
Hiro menyambut,
“Akhirnya kamu datang juga. Kita sampai di sini berkat kerja kerasmu.”
Satria juga
bekata, “Kita sudah menunggu kamu, lho! Kita sedang berada di salah satu ruang
rahasia di Our Care Hospital. Kita sampai di sini karena aku dan Hiro telah
menghubungi Konsulat Jenderal di Gerbang untuk mencari informasi dan bukti
berdasarkan hasil analisismu. Mereka telah mengecek rekaman kejadian itu di
rumah sakit ini dan memang terbukti bahwa Pak Hari dan Tuan Dylan telah
tertukar sejak baru lahir. Bapak yang baru kamu lihat di sini adalah petugas
kamera tersebut. Karena menjadi dokumen sangat rahasia, rekaman itu tidak bisa
disalin secara sembarangan. Karena itu, rekaman itu harus diputar di sini.
Kedua Presiden di dunia komputer ini juga telah diberi penjelasan mengenai
masalah ini dan mereka akan datang sebentar lagi.”
Lalu, Bapak
petugas kamera berjabat tangan dengan Encer, “Perkenalkan, saya Joy, petugas
kamera saat tragedi itu.”
Encer pun
sempat melihat tanggal dan waktu pada layar komputer di ruang itu. Waktu
menunjukkan pukul setengah dua dini hari pada tanggal 1 Oktober 2049. Dia ingat
bahwa dia datang ke rumah Profesor pada tanggal 30 September 2019 pukul delapan
malam. Mungkin waktu di dalam permainan Statnia saat itu sama dengan waktu di
dunia nyata, hanya lebih banyak 30 tahun.
Satu-satunya
pintu ruangan terbuka dan masuklah dua orang pria berpakaian jas rapi yang ditemani
beberapa pengawal. Keduanya adalah Pak Hari dan Tuan Dylan. Setelah orang-orang
di situ berbincang-bincang sebentar, Pak Joy segera memutar video rekaman itu.
Di dalam
rekaman terlihat ada beberapa ranjang bayi. Pak Joy menerangkan bahwa lokasinya
berada di ruang bayi di lantai dua. Pak Joy menjelaskan bahwa dua ranjang yang
terlihat paling dekat dengan kamera adalah ranjang Pak Hari dan Tuan Dylan.
Kedua bayi itu terlihat menghadap ke arah kamera dengan Pak Hari di sebelah
kanan dan Tuan Dylan di sebelah kiri. Beberapa detik kemudian, benda-benda di
ruangan terlihat sedikit bergetar. Lalu, terlihat bahwa di ruang bayi terdapat beberapa
reruntuhan kecil di lantai. Lantainya juga terlihat runtuh dan retak meskipun hanya
sedikit. Semua bayi terlihat selamat. Beberapa detik kemudian, terlihat
beberapa orang menuju ruangan itu untuk mengambil bayi saja atau bayi beserta
ranjangnya. Seorang laki-laki berjaket hitam berada di antara ranjang Pak Hari
dan Tuan Dylan dengan posisi membelakangi kamera. Lelaki itu mengambil kedua
bayi itu dengan tiap-tiap kedua tangannya. Mungkin dia bermaksud menyelamatkan
kedua bayi itu dengan cepat. Saat lelaki itu berbalik arah sehingga menghadap
kamera, datanglah beberapa petugas yang nampaknya menyuruh lelaki itu untuk
mengembalikan kedua bayi ke ranjang masing-masing. Kedua petugas mengambil
tiap-tiap bayi itu dan mengembalikannya ke dalam ranjang sesuai posisi
kanan-kiri kedua tangan lelaki saat itu. Artinya, posisi kedua bayi telah
tertukar karena para petugas tidak tahu bahwa lelaki itu telah berbalik arah.
Laki-laki itu langsung pergi begitu saja tanpa memerhatikan posisi kedua bayi
yang sebenarnya. Mungkin petugas bermaksud membawa bayi beserta ranjangnya agar
mudah dikenali berdasarkan identitas di ranjangnya, tapi tidak tahu jika
posisinya tertukar. Pemutaran rekaman pun selesai.
Kedua Presiden
meneteskan air mata dan saling berpelukan sambil menangis haru. Sungguh
pemandangan yang begitu menguras emosi. Hawa pun sampai menangis tersedu-sedu
meskipun ini hanya permainan. Setelah itu, kedua Presiden berjanji dan
bersepakat untuk saling membantu dan saling bekerja sama.
Encer berkata,
“Sebaiknya ruang bayi berada di lantai dasar agar mudah dievakuasi. Bayi mutlak
tak bisa menyelamatkan diri sendiri. Itu hanya pendapatku saja.”
“Iya, Anak
Arsitektur.” canda Hawa.
Tiba-tiba,
muncullah portal pada tiap-tiap diri keempat muda-mudi tersebut yang langsung
mengirim mereka ke ruangan kubus tadi. Mereka pun mulai terlihat merasa lega
ketika sudah sampai di tempat pertama tadi walaupun masih dengan ekspresi
bertanya-tanya. Tak lama, pengumuman yang terdengar mirip suara wanita di suatu
mesin pencarian terkemuka menjawab rasa penasaran mereka.
“Selamat! Kalian
berhasil memecahkan masalah dalam permainan Statnia ini. Perekonomian Kopisia
bangkit dan melesat setelah dibantu oleh Tuan Dylan. Juseika juga berhasil
menyelesaikan konflik sengketa wilayah dengan Yoguta dan gerakan separatis
Greenfarm dengan kemenangan berada di Juseika berkat bantuan Bapak Hari. Semoga
kalian senang dengan hasil permainan ini. Permainan selesai dan sampai jumpa!”
Lalu, muncul
cahaya yang menyilaukan empat pasang mata mereka. Beberapa saat kemudian,
keempat kapsul terbuka sendiri dan keempat muda-mudi itu keluar dari tiap-tiap
kapsul. Hiro dan Satria langsung melabrak Stanley yang sedang duduk di depan
salah satu layar monitor kecil.
Hiro membentak,
“Siapa kamu, hah? Membuat cerita permainan menyebalkan ini!”
Satria ikut
bicara, “Informasi negeri ini tak jadi terkirim, kan?”
“Sudah,
tenanglah kalian berdua!” kata Profesor Bahruddin yang duduk santai di depan
layar monitor utama sambil memegang beberapa lembar kertas. “Apa yang dilakukan
Stanley tadi hanya bercanda, termasuk tentang menyandera diriku. Ucapan tadi
hanya untuk menambah rasa semangat kalian dalam game Statnia ini.
Sebenarnya, Stanley memang punya maksud lain dalam permainan ini.”
Stanley
berkata, “Benar. Awalnya, Profesor terkejut dengan tindakanku yang memang belum
diketahuinya. Aku segera menyerahkan lembaran kertas tentang bukti masalah
kalian berdua kepada Profesor agar Profesor tenang. Encer dan Hawa memang
diundang khusus oleh Profesor. Namun, kalian berdua diundang karena aku yang
meminta. Satria bisa libur pendidikan Akmil karena hal ini dianggap sebagai
tugas negara, bukan? Karena permainan Statnia sudah diketahui oleh beberapa
petinggi negara dari berbagai kalangan. Kalian berdua tidak sadar bahwa masalah
kedua Presiden tadi adalah masalah kalian? Kalian berdua sama-sama lahir di God
Bless Hospital di kota Naga di negara Sejuk (nama lokasi samaran) pada tanggal 1 Oktober 1999 ketika meteor
jatuh menghantam kota itu.”
Satria
mengingat, “Sebenarnya, aku juga merasa ada hal yang aneh karena beberapa latar
kejadiannya mirip dengan yang kualami saat baru lahir. Dan kenapa kau bisa tahu?”
Hiro berkata, “Benar,
aku memang lahir pada tanggal itu dan di tempat itu.”
Stanley
berkata, “Sebenarnya kalian adalah putra yang tertukar. Sebenarnya, video tadi
adalah rekaman asli yang menampilkan peristiwa tertukarnya kalian. Bapak Hari
ketika masih bayi yang digambarkan dalam rekaman itu adalah Satria. Sedangkan Tuan
Dylan adalah Hiro. Lembaran yang dipegang Profesor adalah bukti tertukarnya
kalian berupa artikel-artikel koran dan bukti-bukti lain tentang identitas
kalian.”
Encer berkata, “Stanley,
kau tahu banyak. Jangan-jangan, kau age-”
“Identitas yang
kukatakan tadi adalah palsu. Secara khusus, aku berada di pihak ayah kandung
asli Tuan Satria Akmil ini. Aku juga seorang keturunan campuran.” potong
Stanley.
Hawa berkata,
“Satria dan Hiro, tetap semangat dan bekerja sama seperti cerita permainan tadi,
ya!”
Satria dan Hiro
saling menepuk bahu sambil berlinang air mata. Sejak bayi, keduanya tidak hanya
telah bertukar identitas, keluarga, dan lingkungan, tetapi juga bertukar rasa
nasionalisme. Suasana tersebut benar-benar mengharukan. Kejadiannya tepat pada
hari ulang tahun mereka pada usia dua puluh tahun, 1 Oktober 2019. Tentu ada
perasaan antara bingung dan bahagia tentang kehidupan yang akan mereka jalani
setelahnya. Yang terpenting, mereka berjanji akan bekerja sama seperti cerita
di Statnia tadi. Itulah babak baru peristiwa tentang tertukarnya cangkir
kehidupan bernama nasionalisme, menjalani apa yang seharusnya dijalani oleh
orang lain dan kemudian akan saling merasakan.
Encer dan Hawa
pun berpamitan untuk menginap sementara di rumah bibinya Hawa di Ternate dan
mereka harus segera melanjutkan petualangan di Kepulauan Natuna untuk urusan
lain. Peristiwa di rumah Profesor Bahruddin tak akan mereka lupakan dan akan
menjadi pelajaran yang sangat berharga.
No comments:
Post a Comment