Tampak depan Maket Betterpad-Ray / Benteng Mural
[Arsitektur Barat memang terkenal di seluruh dunia. Bekas-bekas
peninggalan kolonialnya dapat ditemukan di setiap benua berpenghuni. Maka,
tidak heran bahwa arsitektur Eropa terus dipelajari dan dibandingkan dengan
arsitektur di luar Barat. Indonesia yang mengalami masa kolonial memiliki
banyak peninggalan arsitektur khas Eropa, terutama Belanda. Bangunan-bangunan peninggalan
Belanda umumnya berupa struktur tembok yang dicat dengan warna putih serta
memiliki ukuran jendela yang besar. Bentuknya pun terbilang sederhana tapi
megah. Maka, desain Bangunan Utama Betterpad-Ray pada maket Benteng Mural
memakai gaya yang sederhana dengan ukuran jendela besar yang memang cocok
digunakan sebagai kantor atau bangunan multifungsi.
Di Eropa atau Barat, perkembangan arsitekturnya memang melalui
beberapa periode yang panjang. Setiap periode mempunyai gaya arsitektur
tersendiri yang membuat kawasan Eropa memiliki gaya bangunan yang beragam. Di
tangan dan pemikiran para ahli, kreativitas dalam hal arsitektur terus bergulir
sesuai kebutuhan dan kondisi pada zamannya. Hal ini dapat dijadikan sebagai
acuan atau studi banding bagi perkembangan arsitektur di Indonesia agar
arsitektur tradisional juga dapat terus dikembangkan sesuai kebutuhan.
Desain Maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu Raya) adalah bentuk usaha
untuk menampilkan gaya arsitektur tradisional yang mampu eksis dan sesuai
dengan perkembangan zaman. Fungsi yang dituju dari desain maket ini adalah
kompleks bangunan yang memberi nilai edukasi, seni dan estetika, akomodasi
beragam kegiatan, dan sosial kemasyarakatan. Meskipun sebagian besar bergaya
tradisional, desain maket Benteng Mural juga menampilkan ciri khas bangsa lain,
seperti Arab, Tiongkok, dan Eropa. Gaya tradisional yang dominan dipadukan
dengan efisiensi ruang dalam gaya arsitektur modern sehingga dapat menjadi
kompleks bangunan serba guna.]
Dalam sejarahnya, pendekatan tipologis dapat dibagi dalam tiga
periode. Hal ini dikemukakan oleh sejarawan bernama Anthony Vidler. Periode
pertama adalah “ensiklopedis” abad ke-19 dengan peran utama oleh Marc-Antoine
(Abbe) Laugier. Gubuk primitif adalah sumber acuan yang digunakan dalam kasus
ini. Dalam kelompok ini, yang pemikirannya paling memengaruhi periode
selanjutnya adalah Jean-Nicolas-Louis Durand (1760-1834), dalam karya tulisnya:
Summary of Lectures given at Ecole Polytechnique (1802-1805). Buku
tersebut berisi kumpulan gambar pelbagai bangunan dari pelbagai negara dan
zaman, yang dikelompokkan atas dasar penggunaannya dan digambar dengan skala
yang sama, baik denah, potongan, maupun penampilannya. Durand mengambil
beberapa elemen tektonis dari tiap-tiap kelompok yang menurutnya paling
menentukan karakter masing-masing. Dari semua itu, dia mencampurkannya kembali
membentuk pelbagai bangunan yang sesuai dengan kebutuhan baru. Sasaran yang
dicapai Durand adalah fungsi yang lebih baru, efektif, dan ekonomis, seperti
tiang-tiang bangunan dikurangi, luas dinding lebih sempit, bahan yang lebih
murah, dan sebagainya. Dengan adanya komposisi baru yang belum pernah ada
sebelumnya, Durand menciptakan gaya arsitektur yang dianggap sesuai dan tepat
guna.
Dalam pendapat lain, adanya elemen-elemen struktur bangunan yang
digunakan untuk menopang bagian atas dan memberi kekuatan bangunan biasanya
berukuran besar dan menyita tempat. Biasanya, bangunan dengan ukuran ruangan
yang tinggi membutuhkan daya penopang yang besar. Tentu tujuannya untuk
menciptakan suasana ruang yang lega dan luas serta menunjukkan kemegahan. Biaya
yang besar dibutuhkan untuk bangunan-banguan sejenis ini. Memang, terutama
menurut pandangan modern yang praktis, usaha untuk bermegah-megahan tidak
sebanding dengan fungsi ruangan yang sebenarnya tak butuh ukuran berlebihan.
Maka, untuk menciptakan karya arsitektur yang indah namun efektif dan ekonomis,
gaya megah pun dihilangkan. Terutama dengan adanya pengurangan tiang, baik
jumlah maupun ukuran, jumlah dan ukuran ruangan bisa ditambah sehingga
fungsinya semakin lebih banyak. Biaya pembangunan juga bisa ditekan. Apa lagi,
sebenarnya manusia hanya butuh tempat berlindung yang nyaman, tak perlu yang
terlalu berkilauan dan boros.
Di akhir abad ke-19, muncul periode kedua di mana usaha-usaha yang
ada untuk merespon tantangan revolusi industri. Dalam ruang lingkup teoretis,
pelopor dalam hal ini adalah Walter Gropius. Namun, Le Corbusier adalah yang
pertama kali merealisasikannya dalam merancang perumahan di Pesac, Prancis.
Intinya, penafsiran atas sebuah proses digunakan sebagai model dalam
perancangan, seperti yang juga terjadi dalam mekanisasi pembuatan barang secara
massal di era industri baru. Elemen-elemen tektonis tidak lagi menjadi perhatian
utama dalam perancangan karya arsitektur, tetapi komponen-komponen fisiknya
yang diproduksi secara massal setelah dirasionalisasikan terlebih dahulu.
Pendekatan tipologi dari kedua periode tersebut sangat berorientasi
kepada bentuk, rasio, dan teknologi. Pada periode pertama, langgam arsitektur yang
spesifik untuk tiap-tiap fungsi bangunan tertentu menjadi kebiasaan yang sering
muncul. Misalnya, bangunan pemerintahan memakai langgam klasik, gedung
keagamaan memakai langgam Gothic, bangunan publik menggunakan langgam campuran,
dan sebagainya. Pada dasarnya, bukan tujuan seperti itulah yang dimaksud Durand.
Yang merupakan hasil dari periode kedua adalah konsep arsitektur berlanggam
Internasional (International Style) yang dapat diketahui dengan mudah oleh
banyak orang. Langgam ini dikomersiilkan sejak tahun 1950-an.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahan, alat, dan bahkan bentuk bahan
jadi yang siap dirangkai telah beredar di toko-toko yang bisa dijangkau. Dengan
adanya industri modern, produsen bisa membuat bahan bangunan yang seragam dan
diberi merek agar mudah dikenali pengunjung. Hal ini berbeda dengan zaman
pra-industri modern yang masih jarang ditemui bahan jadi yang siap dirangkai.
Misalnya, rangka atap pada zaman dahulu dibuat dari bahan alam seperti kayu
yang ukurannya berbeda-beda, sehingga perlu diukur dan dipotong agar memperoleh
ukuran yang tepat dan sesuai kebutuhan. Di zaman sekarang, ukuran bahan rangka
atap sudah tersedia dalam ukuran dan luas permukaan alas yang sama. Bahan
modern juga mudah dipotong dengan alat modern. Pada bangunan umum pun, pada
zaman dahulu belum ada bahan-bahan yang dijual dengan ukuran sama, kecuali
genteng dan bata. Di zaman sekarang, rangka konstruksi bangunan sudah
diproduksi dengan ukuran yang sama dan bisa disesuaikan dengan pemotongan.
Periode ketiga terjadi pada tahun 1960-an, namun baru diperhatikan
oleh para arsitek di tahun 1970-an hingga sekarang. Vidler menyebut mereka dengan
sebutan “para Rasionalis generasi ketiga”. Mereka juga disebut “para Neo-Rasionalis
yang menerapkan pengertian yang
sebenarnya” yang dikatakan oleh Kenneth Frampton. Laugier menuliskan tentang
poin-poin tentang apa yang dilakukan oleh mereka:
1.
Melihat
makna arsitektur sebagaimana diwariskan oleh bentuk-bentuk yang terjadi pada
masa lampau.
2.
Memilih
bentuk-bentuk dasarnya berdasarkan pewarisan di poin sebelumnya.
3.
Membuat
usulan perancangan atas dasar pengkomposisian kembali bentuk-bentuk dasar hasil
pewarisan yang telah disebutkan.
Contoh dari hal tersebut adalah monumen karya Aldo Rossi dari Italia
yang terdiri dari tiga bentuk dasar, yaitu lingkaran, kotak, dan segitiga. Bentuk
dasar lingkaran menjadi sebuah kolom, kotak menjadi dinding, dan segitiga
menjadi atap yang menumpu pada dinding dan ditopang oleh kolom. Namun, bukan
karya mirip gubuk primitif yang dibuat, melainkan digeser sehingga
masing-masing elemen mendukung yang lainnya hanya di satu titik saja.
Piazza
e Fontana Monumentale karya Aldo Rossi
Sumber:
Google Maps Street View
Pemikiran manusia tentang arsitektur semakin berkembang. Namun pada
dasarnya, saat sudah mencapai tingkat kerumitan tertentu, manusia ingin kembali
melihat bentuk-bentuk dasar yang sederhana, namun dengan pengolahan yang
berbeda dari zaman awal mula adanya struktur bangunan. Terlihat monumen karya
Aldo Rossi ini terlihat sangat sederhana.. Digambar pun mudah tanpa ada
kesulitan. Namun, karya tersebut memang hal yang mungkin tak pernah terpikirkan
sebelumnya oleh manusia. Yang jelas lagi, struktur tersebut tidak digunakan
sebagai bangunan pelindung manusia, tapi sebagai monumen peringatan suatu
peristiwa. Maka, proses kreasi bisa dilakukan lebih luwes tanpa memerhatikan
faktor kenyamanan dan kebutuhan jasmani.
Tampak
Atas Desain Maket Betterpad-Ray / Benteng Mural
[Pada dasarnya, bentuk rumah atau bangunan fungsional pun tidak
perlu rumit. Yang berbentuk sederhana sudah cukup asal aman dan nyaman. Yang
unik, dengan kreativitas tertentu, ragam bentuk sederhana yang digabungkan
dengan posisi tertentu bisa menciptakan estetika yang nyaman dipandang. Desain
Maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu Raya) / Benteng Mural adalah komposisi
dari bentuk-bentuk dasar yang dapat ditemukan pada ragam model bangunan.
Dilihat dari atas, desain Maket kompleks bangunan ini tersusun dari
bentuk-bentuk dasar sederhana yang diatur sesuai fungsi dan ukurannya. Tidak
terlihat ada bentuk yang sangat tidak lazim dari biasanya. Bangunan sederhana
umumnya berbentuk lantai segi empat karena mudah dibentuk dan tidak
menghabiskan tempat. Gambar lingkaran di tengah halaman kompleks bangunan
menunjukkan bahwa desain bangunan memerhatikan keindahan yang berasal dari
perpaduan bentuk dasar dan garis lengkung yang menampakkan keluwesan.]
Sasaran tipologi dari generasi Neo-Rasionalis yang menjadi tempat
untuk diterapkan adalah kota-kota besar di Eropa atau daerah-daerah pinggiran
yang masih memiliki pemandangan asli. Dalam hal perkotaan, kota dipandang sebagai
sekumpulan bangunan dengan variasi bentuk dan fungsi objek arsitektural,
kemudian sisi historisnya semakin tenggelam oleh kemajuan industri. Perlu
dicari sebuah model historis yang bisa menggambarkan pola kehidupan sosial yang
ideal untuk merespon masalah itu. Kemudian mencari aspek-aspek pembentukan
fisik yang paling tepat dari model tadi yang mampu menggambarkan kehidupan ideal
dan ditelusuri bentuk-bentuk dasarnya. Menurut Leon dan Rob Krier, zaman
Pertengahan dipandang sebagai masa yang bisa menampilkan pola kehidupan sosial
paling ideal dari masyarakat Eropa. Ada dua aspek yang menjadi kriteria ideal
yang dimaksud, yaitu Alun-alun (atau “Squares”, berupa ruang/lapangan terbuka
yang semua sisinya dikelilingi bangunan) dan koridor atau selasar lebar di
antara dua deret bangunan, bisa tertutup maupun terbuka, dan bisa juga berupa
selasar di pinggiran bangunan. Dari Alun-alun dan selasar dapat dicari
bentuk-bentuk dasarnya yang terlihat dan ditentukan elemen-elemen tektonis yang
menyusunnya. Maka, semua tadi dapat disusun dengan komposisi baru sehingga
menghasilkan karya arsitektur yang tidak mengulang model yang telah ada,
meskipun bentuk-bentuk dasarnya tetap jelas terlihat.
Di tingkat regional atau daerah, aktivitas menyusun bentuk-bentuk
dasar juga terjadi sesuai dengan daya kreativitas. Misalnya, apa yang dilakukan
oleh seorang arsitek bernama Mario Botta terhadap objek arsitektural bersifat kedaerahan
yang dilihatnya. Awalnya, dia akan menentukan bentuk-bentuk dasar yang dominan
dari objek arsitektural yang diamatinya dengan cermat. Ciri-ciri yang paling
terlihat dari bangunan-bangunan di wilayah tersebut juga dicari dan
diidentifikasi, misalnya bahan berupa kayu atau dinding bata. Usai tahap
tersebut, dia membuat anjuran bentuk-bentuk dasar berdasarkan fungsi
bangunannya. Perancangan dan pengaturan yang dilakukan seringkali tak terpikir
oleh banyak orang, namun tetap dengan orientasi yang jelas, yaitu menunjukkan
dan menghidupkan suasana terbaik suatu wilayah dari dalam bangunannya. Setelah
itu, karakter bangunan kedaerahan di wilayah tersebut diulangi lagi tanpa
menampilkan sumber aslinya. Misalnya: dinding beton pada bangunan baru diberi
warna bata, atau komposisi warna yang membentuk motif susunan bata.
Complesso
polifunzionale area ex-Appiani, karya Mario Botta
Sumber:
Google Maps Street View/Massinissa Dalla Costa
[Di Indonesia, konsep tentang alun-alun dan fungsi bangunan
sudah dikenal lama. Di setiap daerah di Indonesia, pasti punya ruang terbuka
publik tersendiri atau lapangan yang umumnya mengakomodasi kegiatan massal,
seperti upacara adat dan permainan tradisional. Biasanya, lapangan tersebut letaknya
berada di tengah pemukiman sehingga semua warganya bisa mudah berkumpul untuk
mengikuti prosesi acara. Khusus di Jawa, ada desain tata kota tradisional yang
diterapkan pada keraton atau pusat kota dengan alun-alun di tengahnya.
Alun-alun adalah lapangan luas yang biasanya digunakan untuk acara atau
kegiatan massal. Biasanya, alun-alun berbentuk segi empat dan terkadang di
tengahnya ada pohon (biasanya beringin). Di samping keempat sisi alun-alun
terdapat bangunan-bangunan khas kota yang memiliki fungsi signifikan. Alun-alun
dan setiap bangunan dipisahkan oleh jalan penting yang mengitari alun-alun dan
tersambung dengan jalan-jalan lainnya. Masjid terletak di sebelah barat
alun-alun, keraton atau kantor pemerintahan berada di sisi selatan, fungsi
hukum dan pengadilan berada di sisi timur, dan pasar berada di utara.
Sebenarnya dan faktanya, hal ini tidak harus dilakukan dan posisinya pun bisa
berbeda kecuali untuk masjid. Yang pasti, alun-alun harus dikelilingi bangunan-bangunan
yang penting dan strategis.]
Desain
Masjid Syahadat
Desain
Pendapa Peradaban
Desain
Bangunan Utama Betterpad-Ray
[Pada desain Maket Betterpad-Ray, terdapat halaman utama yang
didesain berukuran luas agar dapat mengakomodasi pelbagai kegiatan dengan
nyaman dan lega. Masjid sangat penting posisinya bagi umat (masyarakat) Muslim,
sehingga desain Masjid Syahadat terletak tepat di samping barat halaman utama.
Sedangkan Pendapa Peradaban yang berfungsi sebagai ruang publik semi-terbuka berada
di dekat halaman utama menuju arah masuk kompleks utama agar mudah diakses.
Bangunan Utama yang berukuran paling besar dan pasti dianggap memiliki fungsi
paling penting berada di bagian pusat Benteng Mural. Bangunan Utama didesain
berbentuk persegi yang mengelilingi ruang kosong atau taman kecil di tengahnya
agar sisi dalam bangunan juga memperoleh cahaya matahari. Hal ini adalah desain
yang umum ditemukan di bangunan-bangunan penting di Barat atau bangsa lainnya.
Demikian artikel yang tercampur antara ilmu pengetahuan dan
pembahasan mengenai desain Maket Betterpad-Ray ini. Tidak ada karya tulis yang
sempurna, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Sempurna. Mohon maaf bila
ada kesalahan dan mohon kritik serta saran. Terima kasih.]
Referensi:
§ Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. Jati Diri Arsitektur Indonesia.
1997. Bandung: Penerbit Alumni.
*Termasuk oleh: Ir.Budi A. Sukada,Grand.Hond,Dipl.(AA), seperti yang
tercantum dalam buku referensi.
(https://archive.org/stream/BukuArsitektur/1140_Jati%20Diri%20Arsitektur%20Indonesia#page/n1/mode/2up)
No comments:
Post a Comment