Setelah kaum
kafir Quraisy gagal dalam berbagai usaha untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad,
mereka mengambil jalan lain, yaitu pemboikotan terhadap yang melindungi Nabi
Muhammad, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Ibnu Ishaq
berkata, “Saat orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa sahabat-sahabat
Rasulullah SAW tiba di suatu daerah (Abbisinia/Habasyah/Ethiopia) dan mendapat
keamanan dan kenyamanan di dalamnya; An Najasyi melindungi siapa saja yang
meminta perlindungan kepadanya; Umar bin Khattab masuk Islam; Umar bin Khattab
dan Hamzah bin Abdul Muththalib berada di pihak Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabatnya; serta Islam menyebar luas di kabilah-kabilah Quraisy, maka
mereka mengadakan rapat. Mereka membuat konspirasi dengan membuat perjanjian
yang ditujukan kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Berikut ini adalah isi
perjanjian tersebut:
1.
Mereka tidak
menikahi wanita-wanita dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
2.
Mereka tidak
menikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani
Muththalib.
3.
Mereka tidak
menjual sesuatu kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
4. Mereka tidak membeli sesuatu dari Bani Hasyim dan
Bani Muththalib.
Ketika mereka
menyepakati isi perjanjian tersebut, mereka menulisnya di shahifah (nota
perjanjian), lalu mereka saling berjanji untuk komitmen dengan isi perjanjian
tersebut. Kemudian mereka menempelkan nota perjanjian di tengah-tengah Ka’bah
sebagai bukti sikap mereka. Penulisnya adalah Mansur bin Ikrimah bin Amir bin
Hisyam bin Abdul Manaf bin Abduddar bin Qushai (Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang
mengatakan penulisnya adalah An-Nadhr bin Al-Harits.”). Rasulullah SAW
mendoakan keburukan baginya, maka sebagian jari Mansur bin Ikrimah menjadi
lumpuh”.
Kaum kafir
Quraisy juga tidak mau bergaul dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, kecuali
jika Rasulullah diserahkan kepada mereka untuk dibunuh.
Pemboikotan
tersebut tentu berdampak buruk bagi Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Mereka
hidup terisolir, baik yang beriman maupun yang kafir, kecuali Abu Lahab. Mereka
terkurung di perkampungan Abu Thalib sejak awal Muharram tahun ke-7 kenabian.
Pemboikotan
semakin lama semakin berat. Makanan yang ada di Mekkah selalu diborong terlebih
dahulu oleh kaum musyrikin. Bani Hasyim dan Bani Muththalib mengalami kelaparan
luar biasa, bahkan hanya dedaunan dan kulit binatang saja yang mereka makan.
Pada suatu hari
Hakim bin Hizam membawa gandum untuk bibinya yaitu Khadijah. Perjalanannya
terhalang oleh Abu Jahal dan Abu Jahal melarangnya. Maka datanglah Abu Al
Bakhtari bin Hisyam untuk membantu Hakim bin Hizam dan membolehkannya untuk
memberikan gandum kepada bibinya.
Abu Thalib
merasa prihatin terhadap Rasulullah. Saat semua orang akan tidur, Abu Thalib
menyuruh Rasulullah untuk tidur di tempatnya, agar Abu Thalib dapat melihat
siapa saja yang mungkin hendak membunuh Rasulullah. Jika semua orang sudah
terlelap dalam tidur, Abu Thalib menyuruh salah seorang anaknya atau saudaranya
untuk tidur di tempat Rasulullah dan membawa perlengkapan tidur mereka.
Dalam menghadapi
pemboikotan, Nabi Muhammad semakin teguh berjuang di jalan Allah SWT. Begitu
pula dengan keluarga dan para sahabat yang semakin gigih mempertahankan agama
Allah. Rasulullah tetap menyebarkan ajaran Islam hingga keluar perbatasan
Mekkah. Kaum kafir Quraisy juga memikirkan cara untuk memerangi Rasulullah yang
ajarannya bertentangan dengat adat kebiasaan jahiliyah. Mereka berpikir
bagaimana cara menghentikan tersiarnya ajaran Islam kepada kabilah-kabilah
Arab, kabilah-kabilah yang tak dapat hidup tanpa Mekkah dan Mekkah pun tak
dapat hidup tanpa mereka dalam hal perdagangan, baik ekspor maupun impor dari
dan ke kota suci tersebut.
Kafir Quraisy
selalu mengancam Rasulullah dan keluarganya selama bertahun-tahun. Namun,
Rasulullah tetap tabah. Dengan cara yang baik, beliau tetap mengajak
orang-orang untuk menerima kebenaran. Itulah tugas Nabi Muhammad sebagai utusan
Tuhan yang membawa berita gembira dan peringatan. Seharusnya masyarakat Quraisy
yang selalu memerangi beliau memercayai Al-Amin, orang yang sejak anak-anak
dikenal sebagai orang yang paling jujur, tak pernah berdusta. Namun saat itu
Quraisy belum mau tunduk. Mereka masih mempertahankan agama lama mereka dan
khawatir dengan ajaran Islam yang akan menggerus dan menghancurkan paganisme yang
mereka anut sejak masa nenek moyang mereka.
Setelah tiga
tahun pemboikotan, akhirnya pemboikotan dibatalkan pada bulan Muharram tahun 10
kenabian. Penyebab pembatalan adalah adanya pertentangan dari kaum Quraisy
sendiri. Ada yang bersikeras untuk meneruskan pemboikotan, ada pula yang
menentangnya karena yang menderita adalah sanak saudara mereka sendiri.
Orang-orang yang menentang perjanjian itu semakin lama semakin banyak hingga
menjadi suara mayoritas.
Di lain pihak,
Rasulullah SAW memberitahu Abu Thalib bahwa Allah SWT telah memerintahkan
rayap-rayap untuk memakan lembaran nota perjanjian tersebut. Lembaran yang
tersisa hanya sedikit yang di dalamnya ada lafaz Allah.
Abu Thalib
menyampaikan hal itu kepada orang-orang Quraisy seraya berkata, “Jika dia berdusta,
akan kami biarkan kalian berbuat sesuka hati kalian kepadanya. Namun jika dia
benar, hendaklah pemboikotan dan kezaliman terhadap kami ini kalian hentikan”.
Lalu Muth’im bin
Adi berniat merobek lembaran perjanjian, namun dia melihat bahwa lembaran itu
sudah hampir habis dimakan rayap, kecuali pada tulisan “Dengan nama-Mu ya
Allah” dan yang padanya terdapat kata “Allah” masih ada.
Maka berakhirlah
penderitaan akibat pemboikotan tersebut dan Rasulullah keluar dari perkampungan
Abu Thalib. Kaum musyrikin telah melihat bukti-bukti kenabian yang sangat
jelas, tetapi mereka tidak mengakuinya, seperti dalam firman Allah SWT dalam
surat Al Qomar ayat 2:
وَإِن
يَرَوۡاْ ءَايَةٗ يُعۡرِضُواْ وَيَقُولُواْ سِحۡرٞ مُّسۡتَمِرّٞ ٢
2. Dan jika mereka
(orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan
berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".
Setelah itu,
Rasulullah beserta kaum muslimin mulai menjalani kehidupan seperti biasanya.
Sedangkan pihak kafir Quraisy masih tetap berupaya untuk menghalangi dakwah
Rasulullah.
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal, Muhammad
Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah
Hidup Muhammad.
·
Al-Mubarakfuriyy,
Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah,
Al-Raheeq Al-Makhtum.
·
Abu Muhammad
Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.
No comments:
Post a Comment