Bangunan
tradisional sebagai refleksi nilai budaya masih sangat jelas terlihat dari
perwujudan bentuk, struktur, tata ruang, dan hiasannya. Bentuk fisik rumah
tradisional, meskipun tidak mengabaikan rasa keindahan, namun tetap terikat
oleh nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Mengenai letaknya
terkadang sesuai dengan nilai-nilai ajaran budaya setempat. Misalnya rumah di
Jawa, khususnya Kabupaten Wonogiri, ada anjuran agar membangun rumah yang
menghadap ke selatan, meskipun sebenarnya tidak terlalu diperhatikan, terlebih
di zaman sekarang. Sebenarnya tidak harus ada nilai-nilai mitologi atau kepercayaan
nenek moyang dalam hal posisi bangunan, entah untuk menjemput rezeki, menolak
bala, keberuntungan, dan sebagainya. Tentu ada nilai-nilai yang dapat dipikir
secara rasional dan berhubungan dengan alam beserta kenyamanan yang diperoleh.
Misalnya tentang rumah yang menghadap ke selatan ini ternyata sesuai dengan
letak lintang pulau Jawa secara geografis. Alasan rumah yang menghadap ke
selatan adalah agar menerima cahaya alami dengan baik. Pulau Jawa terletak di
sebelah garis khatulistiwa dengan posisi antara 60 lintang selatan
hingga 80 lintang selatan, sehingga matahari terlihat lebih lama
berada di sebelah utara Jawa dalam setahun, sekitar 7-8 bulan dari pertengahan
bulan Februari hingga pertengahan bulan Oktober. Biasanya pada waktu tersebut
adalah akhir musim penghujan, musim kemarau, hingga musim awal musim hujan
lagi. Maka pada durasi tersebut biasanya cuaca cerah sering terjadi sehingga
matahari sering terlihat. Karena posisi rumah menghadap ke selatan maka bagian
depannya tidak langsung disinari cahaya matahari sehingga rumah, terutama
bagian teras lebih teduh. Sedangkan pada pertengahan Oktober hingga pertengahan
Februari, posisi matahari terlihat berada di sebelah selatan Jawa. Pada saat
itu biasanya terjadi musim penghujan yang sering terjadi cuaca mendung bahkan
hujan sehingga matahari sering tidak terlihat dan rumah bagian depan tetap terasa
teduh, selain karena durasi posisi matahari yang terlihat di sebelah selatan
Jawa lebih sedikit.
Selain
itu, ada larangan untuk membuat rumah di ujung pertigaan, tepatnya di atas
bagian tengah huruf T, karena bisa terkena malapetaka. Sebenarnya hal ini lebih
baik dipikir secara rasional dan ternyata memang benar. Rumah yang berada di
posisi tersebut maka langsung menghadap jalan yang lurus langsung menuju ke
arah rumah tersebut. Misalnya jika ada kendaraan yang bergerak cepat dan tak
bisa dikendalikan yang langsung mengarah ke rumah di posisi tersebut, maka akan
berpotensi menabrak rumah tersebut sehingga terjadi kecelakaan. Namun memang
ada rumah-rumah yang berada di posisi tersebut yang penghuninya merasa tidak ada
masalah dalam hal tersebut. Intinya, dalam nilai-nilai budaya tentunya dapat diambil
nilai-nilai positifnya yang rasional.
Rumah-rumah
tradisional amat jelas dalam membedakan bagian depan dengan bagian belakang,
seperti antara ruang tamu dengan dapur. Lalu ada juga tata susunannya dalam
perkampungan/lingkungan masyarakat, ada tempat-tempat istimewa yang perlu
diperhitungkan. Misalnya tata kota macapat di pulau Jawa yang meskipun tidak
benar-benar diperhatikan, terlebih di zaman sekarang. Intinya, macapat dalam
hal ini yaitu sebuah alun-alun / lapangan yang dikelilingi empat bangunan
penting, yaitu tempat ibadah (masjid), kantor pemerintahan, pengadilan atau
tempat masalah hukum, dan pasar. Alun-alun adalah tempat berkumpul masyarakat
dalam kegiatan tertentu. Masjid terletak di sebelah barat karena arah kiblat di
Jawa adalah ke barat. Kemudian kantor pemerintahan berada di selatan, tempat
masalah hukum di timur, dan pasar di utara.
Dalam
bangunan tradisional memang ada nilai-nilai yang terefleksi dari bentuk
rumahnya. Ada masyarakat yang memberikan arti tertentu pada bentuk rumah mereka
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku, bisa jadi itu tentang alam atau sesuatu
yang berhubungan dengan komunitas mereka. Misalnya tentang keindahan arsitektur
yang sering terlihat di televisi atau media internet, yaitu rumah adat Batak Toba
(rumah Bolon di Sumatra Utara) dan Toraja (rumah Tongkonan di Sulawesi Selatan)
yang memiliki bentuk atap rumah mirip perahu, bahkan termasuk rumah adat Minang
(rumah Gadang di Sumatra Barat). Ada pendapat bahwa bentuk perahu ini adalah
simbol tentang kendaraan yang telah berdampak positif untuk mereka. Contohnya menurut
orang-orang Toraja, perahu adalah kendaraan nenek moyang mereka yang berhasil
berlayar sampai di daratan Sulawesi. Kemudian, semakin tinggi wujud atapnya
maka semakin tinggi martabat atau status sosial penghuninya. Contoh lain adalah
bentuk atap Joglo di rumah-rumah Jawa yang memiliki bentuk yang unik. Bentuk
atap Joglo yang tinggi hampir tegak ini adalah simbol tentang gunung yang besar
dan kokoh. Pulau Jawa memang memiliki banyak gunung, baik gunung biasa maupun
gunung berapi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan orang Jawa, terutama
dalam hal sumber daya alam. Gunung adalah salah satu ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa yang sering digunakan sebagai simbol keagungan dan sebenarnya bukti bawa
Tuhan Maha Agung-lah yang mampu menciptakan alam raya yang luar biasa luas ini.
Setiap bangunan memiliki struktur yang khas.
Dalam rumah adat Jawa, misalnya pendopo (paviliun) memiliki tiang-tiang yang
menyangga atap bangunan. Tiang-tiang ini biasanya terbuat dari kayu jati yang
bisa ditemui dengan mudah di pulau Jawa. Begitu juga dengan setiap bangunan di
daerah-daerah di Indonesia, atau dalam setiap peradaban di seluruh belahan
dunia memiliki tiang-tiang sebagai penopang bangunan. Sebenarnya secara umum,
tiang memiliki nilai tentang sesuatu yang mampu mendirikan dan menegakkan. Jadi
setiap kegiatan atau proses atau organisasi tentu ada “tiang” yang menopangnya
agar dapat berdiri kuat dan tidak mudah rubuh.
Mengenai
pembagian ruang, memang terlihat jelas dibuat sesuai dengan nilai-nilai budaya
yang berlaku. Rumah utama dianggap hanya pantas dimasuki oleh penghuni rumah
dan kerabat dekat. Karena itu ada bagian-bagian yang terbuka untuk tamu dan ada
juga bagian-bagian ruang tamu bagi orang lain menjadi satu dengan tempat
tinggal. Contoh dalam hal tersebut adalah pendopo (paviliun) di depan rumah
utama tradisional Jawa sebagai tempat tamu. Pendopo adalah bangunan yang
penting bagi kegiatan sosialisasi penduduk setempat.
Bentuk
dan pola hiasan rumah tradisional juga terkait dengan pengaruh nilai budaya,
gagasan utama, dan keyakinan yang mendominasi penduduk. Kepala kerbau, sebagai
hewan kerja dalam pertanian memiliki nilai tinggi. Kepala kerbau atau tanduknya
menjadi benda penghias rumah yang penuh arti. Contohnya di Toraja, suku yang
budayanya sudah terkenal di media massa, memasang tanduk kerbau di rumah mereka
yang dapat menunjukkan tingkat status sosialnya. Semakin tinggi susunan tanduk
kerbau, semakin tinggi status sosialnya. Di samping itu ada pula
lambang-lambang lain yang menggambarkan nilai-nilai budaya, gagasan vital, dan
keyakinan masyarakat yang menghias rumah atau bangunan tradisional dalam bentuk
ukiran dan gambar.
Maket
Betterpad-Ray (Benteng Terpadu Raya “Tembok Mural”) adalah desain kompleks
bangunan yang dapat merefleksikan nilai-nilai budaya Nusantara. Insya Allah
jika terwujud, maka dapat ditampilkan unsur-unsur budaya secara detail. Maket tersebut
merupakan wujud dari tujuan untuk mengenalkan nilai-nilai budaya yang penting
diketahui bagi generasi mendatang, meskipun belum maksimal jika belum
diwujudkan. Namun tetap ada unsur-unsur modern dan Barat agar sesuai dengan
perkembangan zaman di era globalisasi ini dengan tetap menonjolkan unsur-unsur
budaya tradisional.
Masjid Syahadat
Pendapa Peradaban
Bangunan Utama Betterpad-Ray
Bentuk
dari desain Maket Betterpad-Ray adalah berupa area berbentuk persegi panjang
dengan Bangunan Utama Betterpad-Ray yang terletak di tengahnya. Bangunan Utama
memiliki bentuk modern (cenderung gaya Barat) karena fungsinya yang kompleks. Sedangkan
Pendapa Peradaban adalah paviliun atau aula yang memiliki bentuk atap khas
Nusantara yang bagian tengahnya curam. Masjid Syahadat terletak di sebelah
barat dengan bentuk atap piramida khas Nusantara dengan adanya bentuk
lengkungan gaya Arab pada pintu dan jendela. Struktur bangunannya menggunakan
bahan dari bata, semen, dan pasir dengan adanya tiang-tiang penyangga terutama
pada Pendapa Peradaban. Penggunaan bahan-bahan modern ini mungkin bisa diganti
dengan kayu, dan hal tersebut masih bisa diatur sesuai kebutuhan. Namun aula-aula
besar atau bangunan zaman sekarang umumnya sudah menggunakan semen sebagai
bahan dasar. Sebagai kompleks bangunan di negara tropis, maka atapnya berbentuk
curam agar air hujan mudah mengalir ke bawah. Kompleks Betterpad-Ray memiliki
berbagai bangunan yang diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan
kepantasannya. Aula (Pendapa Peradaban) sebagai ruang publik terletak di depan
Bangunan Utama, lalu ada halaman yang luas di depannya. Sedangkan Masjid
Syahadat terletak di sebelah barat ke arah kiblat. Insya Allah, hiasan-hiasan
detail pada Betterpad-Ray menampilkan unsur-unsur budaya Nusantara, bahkan
seluruh daerah di Indonesia jika ada, sebagai wujud persatuan dalam
keanekaragaman. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya arti arsitektur
tradisional sebagai salah satu refleksi kebudayaan. Maka pelestarian bangunan
tradisional tidak hanya sekadar memelihara bangunan kuno tetapi juga memperluas
pesan dan informasi nilai-nilai budaya yang ada dan diperkuat oleh dan untuk
generasi mendatang.
Demikianlah
penjelasan dari artikel mengenai desain maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu
Raya). Insya Allah bisa diwujudkan. Aamiin. Mohon maaf apabila ada kesalahan
terutama di artikel ini.
Referensi:
§ Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. Jati Diri Arsitektur Indonesia.
1997. Bandung: Penerbit Alumni.
*Termasuk oleh: Prof. Dr. S. Budhisantoso, seperti yang tercantum dalam
buku referensi. (https://archive.org/stream/BukuArsitektur/1140_Jati%20Diri%20Arsitektur%20Indonesia#page/n1/mode/2up)
(Hobi Arsitektur)
No comments:
Post a Comment