Cahaya adalah hal yang sangat penting dalam desain sebuah masjid.
Cahaya digambarkan sebagai ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan
simbol positif dan mampu menerangi sesuatu yang tadinya gelap. Oleh karena itu,
umumnya desain masjid memasukkan elemen pencahayaan, baik alami maupun buatan,
dalam konsep perancangannya. Waktu pelaksanaan ibadah juga menjadi hal yang
penting untuk dipertimbangkan, karena sholat wajib dikerjakan dalam lima waktu
dalam sehari, yaitu Subuh saat menjelang pagi, Dzuhur saat siang hari (termasuk
sholat Jum’at), Asar saat sore hari, Maghrib saat matahari terbenam, dan Isya’
saat malam hari. Karena saat waktu matahari tampak bersinar ada dua waktu
sholat, terlebih sholat Jum’at yang dikerjakan secara berjamaah, maka peran
cahaya matahari sebagai pencahayaan alami yang menerangi ruangan masjid
sangatlah besar.
Pada umumnya, bangunan masjid memiliki bentuk luas persegi dengan mihrab
pada ujungnya. Biasanya, pada mihrab terdapat mimbar/podium dan bagian
sisi-sisi mihrab terdapat desain seni untuk memperindah tampilan. Umumnya
ketinggian langit-langit mihrab juga lebih rendah daripada ruang sholat ma’mum
dan pada bagian dinding kiblat terdapat lubang kaca kecil sebagai pencahayaan
alami. Lubang kaca juga dapat diletakkan di bagian atas dinding masjid, di
bawah kubah masjid dengan mengelilinginya, atau di bawah atap piramid persegi
(biasanya di Indonesia). Adanya akses pencahayaan alami ini merupakan isyarat
bahwa cahaya adalah ciptaan Allah SWT yang melambangkan hal-hal positif yang
menghilangkan hal-hal negatif dan menerangi seluruh elemen yang ada di dalam
bangunan masjid.
Selain dengan lubang kaca kecil, bangunan masjid dirancang untuk
memasukkan cahaya alami ke dalam ruangan melalui dinding pada sisi-sisi
bangunan berupa jendela kaca dan/atau pintu kaca. Inilah akses cahaya alami
yang utama dan dapat menerima banyak cahaya matahari. Umumnya masjid-masjid
memiliki jendela-jendela kaca yang banyak dan lebar agar dapat menerangi
seluruh ruang tunggal masjid. Selain itu sebagai tempat umum, masjid tidak
memerlukan dinding penghalang yang berlebihan karena tidak adanya privasi di
dalam ruang sholat. Jendela kaca atau pintu kaca yang transparan tanpa warna
dan lebar membuat orang dari luar dapat melihat kondisi di dalam masjid dan
sebaliknya orang-orang di dalam masjid dapat mengetahui kondisi di sekitar
masjid. Dalam perancangannya membutuhkan pengaturan tingkat kecerahan tertentu
agar kegiatan di dalamnya dapat berjalan baik dan nyaman. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah bentuk bukaan, ukuran, serta arah datangnya sinar matahari.
Kurangnya cahaya alami membuat ketidaknyamanan karena terkesan suram. Lalu
perhitungan pada desain pencahayaan alami juga harus tepat agar ruangan tidak
panas karena masuknya cahaya matahari secara langsung. Pemilihan bahan juga
memengaruhi hasil pencahayaan. Tirai, kaca buram, atau penyaring cahaya, dapat
digunakan dalam akses pencahayaan alami pada masjid.
Pola ruang dalam masjid terus berkembang dan bervarisi seiring
berkembangnya zaman. Menurut sejarah, ketika Nabi Muhammad SAW membangun masjid
Nabawi saat pertama kali, bentuknya berupa bangunan persegi yang sangat
sederhana sebagai ruang sholat berjamaah dan juga dapat digunakan untuk
bermusyawarah. Kemudian bentuk masjid Nabawi terus berkembang hingga yang dapat
kita lihat saat ini, baik langsung maupun hanya foto. Pola persegi tunggal
bukanlah satu-satunya pola yang digunakan sampai zaman sekarang. Berbagai pola
dikembangkan, diaplikasikan, dan dikombinasikan sesuai dengan selera dan
kebutuhan. Pola pada Masjidil Haram juga tidaklah persegi, tetapi mengelilingi Ka’bah
sebagai kiblat. Lalu pada berbagai masjid di berbagai belahan dunia juga banyak
yang memiliki lebih dari satu pola karena masjid tidak hanya digunakan sebagai
ruang sholat berjamaah, tetapi juga ada ruang wudhu, ruang kantor pengurus,
perpustakaan, menara, dan fasilitas penunjang lainnya. Namun pada dasarnya
orientasi yang terbentuk tetap sama, yaitu pada bagian ujung terdapat mihrab
serta mimbar sebagai “tempat yang menjadi pusat perhatian” karena sebagai
tempat imam memimpin sholat berjamaah dan menyampaikan khutbah. Orientasi
tersebut semakin diperjelas dengan adanya penataan furnitur, seperti mimbar
sebagai tempat duduk dan berdiri yang dilengkapi mikrofon dan karpet khusus
bagi imam.
Menara yang berada di luar ruang sholat masjid juga menjadi penekanan
dalam desain masjid, meskipun tidak harus ada. Umumnya menara masjid memiliki
atap berupa kubah dan ada pula yang dikombinasikan dengan atap tradisional
seperti di Indonesia. Menara masjid pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat
muazzin mengumandangkan adzan. Di zaman sekarang menara masjid digunakan
sebagai tempat corong pengeras suara adzan. Maksud dari kedua hal tadi adalah
agar suara adzan dapat menjangkau tempat yang lebih jauh. Menara masjid juga
dapat dinaiki seseorang hingga lantai teratas sebagai tempat pengamatan. Menara
masjid harus memiliki akses pencahayaan yang cukup serta lebar agar pemandangan
sekitar yang terlihat dari atas dapat lebih jelas dan luas. Desain menara juga
mendukung tampilan masjid karena memperlihatkan fungsi masjid sebagai tempat
ibadah kepada Allah Yang Maha Tinggi dan menimbulkan nilai estetika yang bagus.
Desain menara perlu dipertimbangkan secara matang agar dapat memanfaatkan
cahaya alami untuk pencahayaan di siang hari sekaligus mempertegas bentuk
keindahan menara.
Demikianlah
penjelasan dari artikel mengenai desain maket Betterpad-Ray (Benteng Terpadu
Raya). Insya Allah bisa diwujudkan. Aamiin. Mohon maaf apabila ada kesalahan
terutama di artikel ini.
Referensi:
·
Manurung,
Parmonangan. Pencahayaan Alami dalam Arsitektur. 2012. Yogyakarta: ANDI.
(https://archive.org/stream/BukuArsitektur/1713_Pencahayaan%20Alami%20dalam%20Arsitektur#mode/2up)
No comments:
Post a Comment