Setelah hidup di
pedesaan Bani Sa’ad, Muhammad dirawat dan tinggal bersama Aminah, ibu beliau.
Saat beliau berusia 6 tahun, Aminah mengajak beliau pergi ke Yatsrib (sekarang
Madinah) untuk berziarah ke makam Abdullah, ayah Rasulullah. Mereka menempuh
jarak sekitar 500 kilometer untuk berangkat dari Mekkah ke Madinah. Mereka
ditemani oleh Ummu Ayman (seorang budak peninggalan Abdullah) dan dibiayai oleh
Abdul Mutthalib. Mereka berada di Madinah selama satu bulan. Muhammad
dikenalkan kepada saudara-saudara kakek beliau dari pihak ibu, yaitu keluarga
Najjar.
Mereka mengunjungi
rumah tempat Abdullah meninggal serta makamnya. Hal ini diperlihatkan agar
Muhammad mengetahui peristiwa tentang ayah beliau sehingga beliau menjadi anak
yatim. Hal itu menjadi peristiwa yang penuh duka bagi orang yang ditinggalkan
Abdullah. Sesudah hijrah saat masa kenabian, Nabi Muhammad juga pernah
bercerita kepada para sahabat tentang kisah perjalanan yang pertama ke Madinah
bersama sang ibu.
Setelah urusan selesai,
mereka kembali pulang ke Mekkah. Mereka pulang dengan dua ekor unta yang
membawa mereka sejak dari Mekkah. Namun saat perjalanan, Aminah jatuh sakit dan
akhirnya meninggal di kampung Abwa’ yang berlokasi di antara kota Mekkah dan Madinah. Aminah pun
dimakamkan di kampung tersebut. Muhammad bersama Ummu Ayman meneruskan
perjalanan pulang ke Mekkah dengan perasaan duka.
Surat Adh-Dhuha ayat 6:
أَلَمۡ
يَجِدۡكَ يَتِيمٗا فََٔاوَىٰ ٦
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu?
Muhammad telah kehilangan
orang yang telah melahirkan beliau. Baru beberapa hari beliau melihat makam
sang ayah yang telah meninggalkan beliau saat masih dalam kandungan, kini
beliau melihat ibunya telah pergi untuk selama-lamanya di hadapan beliau.
Muhammad telah ditakdirkan untuk memikul beban hidup yang berat dengan berbagai
kesedihan.
Surat Al Insyirah ayat
5-6:
فَإِنَّ
مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ
يُسۡرٗا ٦
5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan,
6.
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sebagai kakek, Abdul
Mutthalib merasa kasihan saat melihat Muhammad telah menjadi anak yatim piatu
di usia dini. Abdul Mutthalib membawa cucunya ke rumahnya. Dia merawat dan
mengasuh Muhammad dengan baik dan sungguh-sungguh. Segala kasih sayang
dicurahkan kepada Muhammad. Abdul Mutthalib memang orang yang baik. Dialah yang
menyediakan makanan dan minuman bagi para peziarah Ka’bah yang datang dari
luar. Dia juga yang memberi bantuan kepada penduduk Mekkah yang tertimpa
bencana.
Biasanya orang yang
sudah tua di Mekkah, pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekkah, memiliki
hamparan tempat duduk masing-masing di bawah Ka’bah. Anak- anak hanya duduk di
sekeliling hamparan untuk menghormati orang yang lebih tua. Saat itu, Abdul Mutthalib
memiliki tempat duduk khusus untuknya di bawah Ka’bah. Tidak ada seorang pun
yang berani duduk di tempat tersebut, bahkan anak-anaknya hanya berani duduk di
sisinya. Namun Rasulullah yang masih anak-anak berani duduk dan bermain di
tempat kakek beliau. Paman-paman beliau yang mengetahui hal itu berusaha untuk
membawanya keluar dari tempat duduk itu. Saat melihat hal tersebut, Abdul
Mutthalib justru menyuruh mereka untuk
membiarkan Muhammad duduk di tempat itu. Sang kakek berkata, “Biarkan dia. Demi
Allah, anak ini punya kedudukan sendiri”.
Muhammad kecil pun
tetap duduk di tempat sang kakek dengan bebas. Abdul Mutthalib merasa bahagia
melihat kelakuan cucunya yang menyenangkan hati. Dielus-elusnya punggung
Muhammad dengan penuh kasih sayang.
Namun Abdul Mutthalib
tidak bisa berlama-lama dalam memberikan kasih sayang kepada Muhammad. Saat
Muhammad berusia delapan tahun, sang kakek meninggal di Mekkah pada usia
sekitar delapan puluh tahun. Sekali lagi, Muhammad kehilangan salah satu orang
yang telah merawat beliau. Sebelum wafat, dia telah berpesan agar Muhammad
dirawat oleh pamannya yang bernama Abu Thalib. Abu Thalib memang memiliki
perasaan yang halus dan terhormat di kalangan Quraisy.
Pada dasarnya, wafatnya
Abdul Mutthalib adalah hal yang berat bagi Bani Hasyim. Abdul Mutthalib adalah
seseorang yang memiliki keteguhan hati, berwibawa, pandangan yang tajam,
terhormat, dan memiliki pengaruh besar di masyarakat Arab. Tidak ada dari
anak-anaknya yang mampu meneruskan kegiatan Abdul Mutthalib. Yang miskin tidak
mampu melakukan hal itu, sedangkan yang kaya berbuat kikir. Maka Bani Umaya
yang menduduki kursi kepemimpinan di Mekkah yang telah lama mereka inginkan,
tanpa menghiraukan ancaman dari Bani Hasyim. Bani Umaya adalah anak dari Bani
Abdus Syams. Bani Hasyim dan Bani Abdus Syams adalah anak dari Bani Abdul
Manaf.
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal, Muhammad
Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah
Hidup Muhammad.
No comments:
Post a Comment