Monday, April 29, 2019

KISAH NABI MUHAMMAD SAW - Tragedi Ar Raji’, sebuah Tipuan

Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, datanglan utusan dari Adhal dan Al Qarah untuk menemui Nabi Muhammad di Madinah. Mereka berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kalangan kami ada beberapa orang yang telah masuk Islam. Oleh karena itu, kami meminta agar Anda bersedia mengutus beberapa orang sahabatmu untuk mengajarkan agama, membaca Al Qur’an, dan mengajarkan syariat Islam kepada kami”.

Nabi Muhammad bersedia melakukannya dan mengutus enam orang sahabat yang juga untuk menemani perjalanan pulang utusan Adhal dan Al Qarah ke tempat asal mereka. Keenam orang sahabat tersebut adalah Martsad bin Abu Martsad Al Ghanawi, Khalid bin Bukair Al Laitsi, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adi, Zaid bin Ad Datsinah, dan Abdullah bin Thariq. Nabi Muhammad menunjuk Martsad bin Abu Martsad sebagai pemimpin rombongan keenam orang sahabat tersebut. Lalu keenam orang sahabat Nabi dan utusan Adhal dan Al Qarah berangkat bersama-sama.

Saat mereka sampai di Ar Raji’, nama sebuah mata air Hudzail dari arah Hijaz, tiba-tiba utusan Adhal dan Al Qarah melakukan pengkhianatan kepada keenam sahabat Nabi dan berteriak meminta bantuan kepada orang-orang Hudzail. Utusan Adhal dan Al Qarah berkata kepada keenam sahabat Nabi, “Demi Allah, kami tidak berniat membunuh kalian. Kami hanya ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang Quraisy dengan menahan kalian. Kalian berhak atas janji Allah bahwa kami tidak akan membunuh kalian walaupun hanya seorang”. Martsad bin Abu Martsad, Khalid bin Al Bukair, dan Ashim bin Tsabit berkata, “Demi Allah, kami tidak menerima janji atau kesepakatan dari orang-orang musyrik untuk selamanya”.

Maka ketiga orang tersebut melawan orang-orang Hudzail hingga terbunuh. Menurut Ibnu Ishaq, saat Ashim bin Tsabit terbunuh, orang-orang Hudzail hendak mengambil kepalanya untuk dijual kepada Sulafah binti Sa’ad bin Syahid. Sebelumnya, Sulafah bernazar setelah kedua anaknya tewas di perang Uhud, bahwa jika dia dapat mengambil kepala Ashim bin Tsabit, dia akan menyiramkan minuman keras ke tulang tengkoraknya. Namun keinginannya dihalangi oleh lebah-lebah yang berkerumun yang menghalau orang-orang Hudzail hingga tidak bisa mendekati jasad Ashim bin Tsabit. Mereka berkata, “Biarkan lebah-lebah tersebut hingga petang hari. Jika lebah-lebah itu sudah pergi, kita ambil jasadnya”. Namun terjadi banjir besar yang menghanyutkan jasad Ashim. Sebelumnya Ashim bersumpah bahwa dia tidak akan pernah mau disentuh oleh tangan-tangan musyrik dan ia tidak menyentuhnya selama-lamanya karena orang musyrik adalah najis.

Sedangkan Zaid bin Ad Datsinah, Khubaib bin Adi, dan Abdullah bin Thariq merasa tidak mampu berbuat apa-apa sehingga menyerahkan diri dan dijadikan tawanan oleh orang-orang Hudzail. Lalu orang-orang Hudzail membawa ketiganya ke Mekkah untuk dijual di sana. Saat mereka sampai di Dahran, masih dalam perjalanan, tiba-tiba Abdullah bin Thariq berusaha melepaskan diri dan mengambil pedang. Namun orang-orang Hudzail tidak membiarkannya begitu saja dan menghantamnya dengan batu hingga dia meninggal. Maka kuburan Abdullah bin Thariq kini berada di Dahran. Sedangkan orang-orang Hudzail meneruskan perjalanan ke kota Mekkah dengan tetap membawa Khubaib bin Adi dan Zaid bin Ad Datsinah. Orang-orang Hudzail menawarkan keduanya kepada orang-orang Quraisy agar ditukar dengan dua tawanan orang-orang Hudzail di Mekkah.

Khubaib bin Adi dibeli oleh Abu Ihab At Tamimi. Dia sengaja membelinya untuk dibunuh sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. Khubaib bin Adi diseret oleh orang-orang Quraisy hingga ke luar Mekkah yaitu di Ta’nim dan dia akan disalib. Khubaib berkata kepada mereka, “Bisakah aku shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum membunuhku?”. Mereka berkata, “Silakan”. Lalu Khubaib mengerjakan sholat dua rakaat dengan baik dan sempurna. Setelah itu, Khubaib menemui mereka dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak akan mengira bahwa aku takut mati dengan mengulur waktu sholatku, maka aku mengulurnya”.

Kemudian orang-orang Quraisy mengangkatnya ke atas kayu. Saat mereka telah mengikatnya, Khubaib berkata, “Ya Allah, sesungguhnya risalah Nabi-Mu telah kami sampaikan. Maka sampaikan pada beliau apa yang mereka lakukan terhadapku esok hari. Ya Allah, pastikan jumlah mereka, musnahkanlah mereka secara terpisah, dan jangan biarkan satu orang pun dari mereka yang selamat”.

Abu Sufyan berkata kepadanya, “Sukakah engkau jika Muhammad sekarang berada di sisi kami dan kami tebas lehernya sedangkan kamu bersama keluargamu”.

Khubaib menjawab, “Demi Allah, sungguh aku tidak rela jika aku bersama keluargaku, sedangkan Muhammad berada di tempatnya terkena duri yang menyakitinya”.

Lalu Khubaib dibunuh.

Sedangkan Zaid bin Ad Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh sebagai balas dendam atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf. Shafwan menyuruh budaknya yang bernama Nisthas untuk membawa Zaid bin Ad Datsinah bersama orang-orang Quraisy ke suatu tempat dan Zaid dibunuh oleh Nisthas.

Keduanya telah gugur sebagai syahid, untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh suci tersebut kembali kepada Tuhannya. Padahal, sebenarnya mereka dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu jika mereka mau meninggalkan agama Islam. Namun keyakinan mereka kepada Allah SWT dan hari akhir, keyakinan bahwa setiap jiwa akan mendapatkan balasan sesuai perbuatannya, mereka yakin bahwa tujuan hidup yang paling baik adalah demi akidah, demi iman, dan demi kebenaran. Mereka yakin bahwa darah mereka yang tumpah ke bumi adalah suatu proses agar kaum muslimin mampu memasuki kota Mekkah sebagai pihak yang menang dan mengembalikan kesucian Ka’bah sebagai rumah Allah.

Persembahan dari



(Benteng Terpadu Raya)

Referensi:
·         Mubarakfuri, Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah. Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·         Haekal, Muhammad Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah Hidup Muhammad.
·         Al-Mubarakfuriyy, Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah, Al-Raheeq Al-Makhtum.
·         Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.

No comments:

Post a Comment

BETTERPAD-RAY MOCKUP - Materiaal van de muur van de Shahada-moskee (Masjid Syahadat)

"Sorry If There Is A Deficiency / Error In Translation From Indonesian To Related Languages, Because It Only Uses Google Translate"...

Popular posts