Tuesday, April 30, 2019

KISAH NABI MUHAMMAD SAW - Tragedi Bi’ru Ma’unah yang Memilukan

Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, selain terjadi tragedi Ar Raji’ yang terjadi pada bulan itu, juga terjadi tragedi yang lebih memilukan yang juga terjadi pada bulan itu juga, yaitu tragedi Bi’ru Ma’unah. Peristiwa ini berawal dari permintaan Abu Barra’ bin ‘Amir bin Malik yang merupakan seorang ahli tombak. Dia menemui Nabi Muhammad di Madinah. Nabi Muhammad menawarkan Islam kepadanya dan mendakwahinya. Abu Barra’ menolak masuk Islam tetapi dia tetap mendukung Islam. Dia berkata, “Jika ada para sahabatmu yang dapat diutus ke Najed dan mengajak mereka untuk menerima agamamu, saya berharap bahwa mereka mau menerimanya”. Nabi Muhammad berkata, “Aku khawatir jika penduduk Najed dapat berbuat jahat terhadap sahabat-sahabatku saat kapanpun”. Tentu kekhawatiran ini didasarkan pada peristiwa yang menimpa Khubaib dan kawan-kawan saat tragedi Ar Raji’. Abu Barra’ berkata, “Aku akan memberi perlindungan untuk mereka. Maka utuslah mereka untuk menyampaikan risalahmu kepada orang-orang di sana”.

Abu Barra’ adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya dan perkataannya didengar oleh mereka. Siapa pun yang sudah diberi perlindungan olehnya, dia tak akan khawatir akan mendapat serangan dari pihak lain.

Maka Rasulullah mengutus Al Mundzir bin Amr dari Bani Saidah yang memimpin empat puluh orang para sahabat Nabi yang merupakan orang-orang pilihan dan terbaik dari kaum Muslimin. Lalu mereka berangkat hingga perjalanan sampai di Bi’ru Maunah, terletak antara daerah Bani Amir dan Bani Sulaim, dan mereka berhenti di tempat itu. Lalu mereka mengutus Haram bin Milhan mengantarkan surat Rasulullah kepada musuh Allah yaitu Amir bin Ath Thufail. Saat Haram bin Milhan tiba di sana, Amir bin Ath Thufail tidak membuka surat Rasulullah, namun malah membunuh Haram bin Milhan. Konon, Haram sempat berkata, “Allah Maha Besar, aku telah beruntung demi (Allah) Tuhannya Ka’bah”.

Amir bin Ath Thufail memprovokasi kaumnya yaitu Bani Amir untuk menyerang para utusan Rasulullah, namun mereka menolak perintahnya. Mereka berkata, “Kami tidak akan pernah mengkhianati janji Abu Barra’”. Memang sudah ada perjanjian bahwa Abu Barra’ untuk melindungi utusan Rasulullah, namun Amir bin Ath Thufail tidak menyerah. Dia terus memprovokasi kabilah-kabilah Bani Sulaim seperti Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakawan untuk menyerang para utusan Rasulullah dan ternyata mereka menyambutnya. Lalu terjadilah pertempuran antara mereka dengan para utusan Nabi. Semua utusan terbunuh kecuali Ka’ab bin Zaid dari Bani Dinar An-Najjar, karena kabilah-kabilah Bani Sulaim membiarkannya dalam keadaan antara hidup dan mati. Ka’ab bin Zaid mengalami luka parah namun tetap hidup. Ka’ab bin Zaid yang masih selamat pulang ke Madinah. Dia baru mati syahid saat perang Khandaq.

Ada dua orang muslim bernama Amr bin Umaiyyah Adh Dhamri dan salah seorang dari kaum Anshar dari Bani Amr bin Auf yang bernama Al Mundzir bin Muhammad. Mereka tidak tahu tentang musibah yang menimpa para sahabat Nabi hingga mereka melihat burung-burung terbang di atas tempat tragedi. Keduanya berkata, “Demi Allah, adanya burung-burung tersebutcmenandakan terjadinya sesuatu”. Lalu keduanya berjalan menuju lokasi untuk mengetahui apa yang sesungguhnya telah terjadi. Saat mereka melihat para utusan Nabi telah bersimbah darah sedangkan kuda mereka berdiri, maka Al Mundzir berkata kepada Amr bin Umaiyyah, “Bagaimana pendapatmu?”. Amr bin Umaiyyah berkata, “Aku berpikir bahwa sebaiknya kita segera menghadap Rasulullah untuk menjelaskan apa yang telah kita lihat”. Al Mundzir bin Muhammad berkata, “Sementara aku mereka gembira dengan tempat tewasnya Al Mundzir bin Amr dan apa yang menimpaku nanti pasti akan diberitahukan orang-orang”. Setelah itu, sahabat dari Anshar tersebut melawan kabilah-kabilah Bani Sulaim hingga terbunuh, sedangkan Amr bin Umaiyyah ditawan. Saat Amr bin Umaiyyah mengatakan kepada mereka bahwa dia berasal dari Mudhar, Amir bin Ath Thufail membebaskannya dan mencukur rambut di ubun-ubunnya.

Saat Amr bin Umaiyyah berjalan, di tengah perjalanan dia bertemu dua orang dari Bani Amir. Kedua orang tersebut mampir di tempat Amr bin Umaiyyah dan berteduh di bawah sebuah pohon. Amr bin Umaiyyah tidak tahu bahwa Bani Amir telah membuat perjanjian dengan Rasulullah. Amr bin Umaiyyah bertanya kepada keduanya, “Dari manakah asal kalian berdua?”. Keduanya menjawab, “Kami dari Bani Amir”. Lalu Amr bin Umaiyyah menunggu hingga keduanya telah tertidur dan menghabisi keduanya. Ia beranggapan bahwa apa yang dia lakukan telah mampu membalas dendam perbuatan orang-orang Bani Amir karena menyangka bahwa mereka telah membunuh para sahabat Nabi. Saat Amr bin Umaiyyah sampai di tempat Rasulullah dan menjelaskan apa yang dialaminya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, engkau telah membunuh dua orang dan aku akan membayar diyat (tebusan) kepada keluarga mereka berdua”. Beliau bersabda lagi, “Semua ini terjadi karena Abu Barra’, aku memang tidak menyukai hal tersebut dan aku khawatirkan sebelumnya”.

Saat sabda Rasulullah sampai ke telinga Abu Barra, dia marah besar kepada Amir bin Ath-Thufail atas tindakan brutalnya karena meremehkan perjanjiannya dengan Rasulullah dan merasa bahwa terjadinya tragedi memilukan yang menimpa para sahabat Nabi ini karena ulah dan perlindungannya.

Begitu dalamnya rasa duka cita Rasulullah sehingga sebulan penuh setiap selesai sholat Subuh dia berdoa kepada Tuhan agar memberi balasan terhadap mereka yang telah membunuh para sahabat. Inilah yang disebut Qunut Nazilah. Seluruh kaum muslimin juga merasakan kesedihan karena musibah yang telah menimpa saudara-saudara seiman mereka, meskipun mereka yakin bahwa mereka mati syahid dan akan masuk surga.

Persembahan dari



(Benteng Terpadu Raya) 

Referensi:
·         Mubarakfuri, Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah. Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·         Haekal, Muhammad Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah Hidup Muhammad.
·         Al-Mubarakfuriyy, Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah, Al-Raheeq Al-Makhtum.
·         Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.


No comments:

Post a Comment

BETTERPAD-RAY MOCKUP - Materiaal van de muur van de Shahada-moskee (Masjid Syahadat)

"Sorry If There Is A Deficiency / Error In Translation From Indonesian To Related Languages, Because It Only Uses Google Translate"...

Popular posts