Ada seseorang
yang pada awalnya hatinya sangat keras terhadap Islam, namun kemudian dia
memperoleh secercah cahaya sehingga dia masuk Islam. Dialah Umar bin Khattab.
Dia masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul
Muththalib masuk Islam. Hal ini bisa terjadi karena Rasulullah memang pernah
berdoa kepada Allah SWT agar dia masuk Islam,
“Ya Allah,
muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai,
yaitu Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”.
Kemudian Allah
SWT mengabulkan doa beliau dengan memilih Umar bin Khattab yang lebih Allah
cintai dari keduanya.
Umar bin Khattab
adalah seorang pria yang berperawakan gagah dan berwatak keras, saat itu berusia
antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun. Dia sering cepat marah, namun
bijaksana dan lemah lembut terhadap keluarga. Saat belum masuk Islam, dia
sering berperilaku kasar terhadap kaum muslimin. Sebenarnya Umar merasakan
bahwa di dalam hatinya sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan,
antara mempertahankan ajaran nenek moyang yang dianutnya sejak dulu, kegemaran
terhadap hiburan dan mabuk-mabukan, dengan kekagumannya terhadap keteguhan iman
kaum muslimin serta hatinya merasakan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad mungkin lebih baik dan lebih mulia dari kebiasaan jahiliyah Quraisy.
Saat sebagian kaum Muslimin hijrah ke Habasyah dan rajanya memberi perlindungan
kepada mereka, Umar pun merasa sedih karena berpisah dengan mereka.
Hingga pada
suatu hari, Umar melangkahkan kakinya dengan membawa pedang untuk menyerang
Rasulullah SAW. Namun Abdullah an Nahham Al ‘Adawi menghentikan langkah Umar di
tengah jalan sambil bertanya, “Mau pergi ke mana wahai Umar?”.
“Aku akan
membunuh Muhammad”, Jawab Umar.
“Apa engkau akan
aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad?”.
“Jangan-jangan
engkau sudah murtad dan meninggalkan agama lamamu?”, Tanya Umar.
“Apakah kau mau
kutunjukkan yang lebih mengejutkan dari
itu wahai Umar, bahwa saudara perempuanmu dan suaminya telah murtad dan
meninggalkan agama lama”, ujar Abdullah.
Umar terkejut
mendengar hal itu dan segera menuju ke rumah adiknya yang bernama Fatimah dalam
keadaan marah. Di rumah Fatimah dan suaminya terdapat Khabbab bin Art yang
sedang mengajarkan Al Qur’an kepada keduanya. Khabbab merasakan bahwa Umar tiba
di rumah Fatimah, maka dia bersembunyi di balik rumah. Lalu Fatimah segera
menutupi lembaran Al Qur’an.
Sebelum masuk
rumah, ternyata Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya, “Tadi
suara apa yang kudengar dari kalian?”.
Mereka menjawab,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”.
“Pasti kalian
sudah murtad”, kata Umar sambil marah-marah.
Suami Fatimah
yang bernama Sa’id bin Zaid berkata, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran
bukan berada pada agamamu?”.
Umar semakin
marah saat mendengarnya dan langsung menendang suami Fatimah dengan keras
hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera membangunkan suaminya, namun dia juga
ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah. Fatimah pun berkata kepada
Umar, “Wahai Umar, jika kebenaran bukan pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan yang disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah”.
Umar merasa malu
dan menyesal karena telah membuat adik perempuannya dalam keadaan berdarah. Timbullah
rasa iba terhadap adiknya itu. Kemudian dia meminta lembaran Al Qur’an
tersebut. Namun Fatimah menolaknya dan mengatakan bahwa Umar masih najis, dan Al
Qur’an hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang sudah bersuci. Umar disuruh
mandi oleh Fatimah jika ingin menyentuh lembaran Al Qur’an, maka Umar
melakukannya.
Setelah mandi,
Umar membaca isi lembaran Al Qur’an, “Bismillahirrahmanirrahim”. Lalu dia
memberi tanggapan, “Ini adalah nama-nama yang indah dan suci”.
Kemudian dia
melanjutkan membaca:
طه ١ [ طه:1]
1. Ta, Ha. [Ta Ha:1]
Sampai ayat:
إِنَّنِيٓ
أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ
لِذِكۡرِيٓ ١٤ [ طه:14]
14. Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Ta Ha:14]
Hati Umar merasa
bergetar setelah membaca ayat-ayat tersebut. Dia merasakan ada sesuatu yang
agung dan luar biasa dari kalimat-kalimat yang dibacanya.
Dia berkomentar,
“Betapa indah dan mulianya kalimat-kalimat ini. Tunjukkah padaku di mana
Muhammad berada”.
Lalu Khabbab bin
Art keluar dari balik rumah dan berkata, “Bergembiralah Wahai Umar, saya
berharap bahwa doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu. Inilah
doa beliau, ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang
yang lebih Engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam’. Sekarang
Rasulullah sedang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”.
Maka Umar segera
pergi ke rumah tersebut sambil membawa pedang. Kini hatinya mulai terasa tenang
dan yakin dengan kebenaran. Saat sampai di sana, dia mengetuk pintu. Seseorang yang berada di dalamnya
berusaha mengintip lewat celah pintu, terlihat bahwa Umar bin Khattab sedang
membawa pedang. Dia memberitahu Rasulullah dan semua orang berkumpul. Hamzah
bertanya, “Ada apa?”,
Mereka menjawab,
“Ada Umar”.
“Umar? Bukakan
pintu untuknya, jika dia datang membawa kebaikan, kita sambut. Tapi jika dia
datang membawa keburukan, bunuh dia dengan pedangnya sendiri”.
Rasulullah
memberi isyarat agar Hamzah menemui Umar. Lalu Hamzah segera menemui Umar dan
menyuruhnya menemui Rasulullah. Lalu Rasulullah memegang baju Umar besera
gagang pedangnya, lalu ditarik dan berkata, :Wahai Umar, akankah engkau terus
begini hingga kehinaan da azab Allah diturunkan kepadamu seperti yang menimpa
Walid bin Mughirah? Ya Allah, inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah
Islam dengan Umar bin Khattab”.
Umar berkata,
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah
Rasulullah”.
Orang-orang di
dalam rumah itu mengumandangkan gema takbir untuk menyambut pernyataan Umar
yang telah masuk Islam, bahkan suaranya terdengar hingga Masjidil Haram. Timbul
kegemparan di kalangan musyrik, sebaliknya kaum muslimin menyambutnya dengan
suka cita. Ibnu Mas’ud berkata, “Kami dahulu tidak ada yang berani shalat di
depan Ka’bah hingga Umar masuk Islam”.
Kini kedudukan
kaum muslimin menjadi semakin kuat dan kekuatan Quraisy menjadi berkurang.
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal, Muhammad
Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah
Hidup Muhammad.
No comments:
Post a Comment