Abu Thalib,
paman Nabi Muhammad yang selalu melindungi beliau, mulai sering mengalami sakit
yang semakin parah. Akhirnya dia meninggal pada bulan Rajab tahun 10 kenabian,
setelah enam bulan dari peristiwa pembatalan pemboikotan. Saat itu Abu Thalib
sudah berusia delapan puluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui bahwa dia
dalam keadaan sakit yang mungkin akan menjadi akhir hayatnya, mereka khawatir
dengan apa yang akan terjadi nanti antara mereka dengan Nabi Muhammad dan para
sahabat beliau. Apalagi di pihak muslimin ada Hamzah dan juga Umar yang dikenal
berani. Maka orang-orang Quraisy bermaksud menemui Abu Thalib agar mereka
dibiarkan dengan agama mereka sendiri dan Nabi Muhammad juga dengan agama
beliau pula. Namun Nabi Muhammad juga datang dengan harapan Abu Thalib masuk
Islam di akhir hayatnya.
Dalam riwayat
yang shahih (Bukhari yang diriwayatkan dari Al-Musayyab), dijelaskan bahwa Rasulullah
datang menghampiri Abu Thalib yang sedang sekarat. Begitu pula Abu Jahal yang
sudah berada di sisi Abu Thalib.
Rasulullah
berkata, “Wahai pamanku, ucapkanlah : Laa Ilaaha Illallah, kalimat yang aku
gunakan untuk membelamu di sisi Allah”.
Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci
agama Abdul Muththalib?”.
Mereka
mengatakannya berulang-ulang, hingga akhirnya Abu Thalib berkata, “Saya tetap
berada di dalam agama Abdul Muththalib”.
Maka Rasulullah
berkata, “Aku akan memintakan ampunan bagimu, selagi aku tidak dilarang dalam
hal itu”.
Maka turunlah
firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 113:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ
وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ
أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣
113. Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam.
Juga turun surat
Al-Qashash ayat 56:
إِنَّكَ
لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ
أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ٥٦
56. Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Begitulah,
Abu Thalib tetap dalam kekafiran hingga kematiannya, walaupun selama hidupnya
dia selalu membela dan melindungi Rasulullah dalam berbagai keadaan. Dengan
perlindungannya, ajaran Islam dapat tersebar dan tak dapat dihentikan oleh kaum
musyrikin. Dalam shahih Bukhari, riwayat dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib
yang berkata kepada Rasulullah, “Apakah engaku tidak bisa menolong pamanmu? Dia
selalu melindungimu dan membelamu”. Rasulullah menjawab, “Dia berada di ujung
api neraka, kalau bukan karena aku, sudah pasti di lapisan terbawah api
neraka”.
Dari
Abu Said Al-Khudri, meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah berkata tentang
Abu Thalib, sabda beliau adalah, “Semoga syafaatku dapat menolongnya di hari
kiamat nanti, dia diletakkan di ujung api neraka sampai membakar kedua
tumitnya”.
Hanya
berselang dua atau tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib, Rasulullah juga
ditinggal oleh orang yang sangat beliau cintai. Ummul Mu’minin, Khadijah Al-Kubro
radhiallahuanha, telah wafat pada tahun 10 kenabian pada usia 65 tahun,
sedangkan Rasulullah berusia 50 tahun pada saat itu.
Khadijah
adalah isteri yang selalu mendampingi Rasulullah di masa-masa terberat awal
dakwah beliau. Dialah Khadijah yang selalu memberikan harta dan mengorbankan
segalanya untuk membantu dakwah ajaran Islam yang dibawa Rasulullah. Khadijah
telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaan kepada sang Nabi dengan
perasaan yang lemah lembut, hati yang bersih, dan kekuatan iman yang ada pada
dirinya. Khadijah selalu menghibur Rasulullah saat beliau dalam kesedihan,
menghilangkan rasa takut pada diri beliau. Khadijah selalu percaya dengan
kejujuran Rasulullah.
Nabi
Muhammad memiliki pandangan tersendiri terhadap Khadijah, “Dia beriman kepadaku
saat orang-orang kufur kepadaku, dia membenarkanku saat orang-orang
mendustakanku, dia menyerahkan hartanya untukku saat orang-orang mencegah
hartanya untukku, dan Allah memberiku keturunan melalui dirinya, sementara yang
lainnya tidak mendapatkannya”.
Dua
peristiwa duka tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap Rasulullah SAW karena
kedua orang tersebut memiliki peran besar dalam kehidupannya, baik sebelum
menjadi Nabi maupun sebagai utusan Allah. Sementara itu, tekanan dan gangguan
orang-orang kafir semakin berat karena sudah tidak ada Abu Thalib yang selalu
melindungi beliau.
Ibnu
Ishaq berkata bahwa Hisyam bin Urwah berkata kepadaku dari ayahnya, Urwah bin
Az-Zubair yang berkata, “Setelah orang tidak waras dari Quraisy itu menaburkan
tanah ke atas kepala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau masuk ke
dalam rumah sementara tanah tersebut masih berada di kepala beliau. Salah
seorang putri beliau berdiri untuk membersihkan kepala beliau dari tanah sambil
menangis. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, ‘Jangan
menangis anakku, karena sesungguhnya Allah senantiasa melindungi ayahmu.’
Beliau juga berkata, ‘Orang-orang Quraisy tidak pernah berhasil melakukan
sesuatu yang tidak aku sukai kepadaku hingga Abu Thalib meninggal dunia”.
Karena
itu, tahun ini dalam sejarah kehidupan Rasulullah juga disebut dengan Tahun
Duka Cita (‘Aamul Huzni).
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal, Muhammad
Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah
Hidup Muhammad.
·
Al-Mubarakfuriyy,
Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah,
Al-Raheeq Al-Makhtum.
·
Abu Muhammad
Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.
No comments:
Post a Comment