Masjid Nabawi era sekarang
Sumber Objek : https://www.youtube.com/watch?v=MVEISdjVyeo
Di tanah tersebut
terdapat kuburan kaum musyrikin, rumah usang, dan beberapa pohon. Lalu Nabi
Muhammad memerintahkan agar membongkar makam kaum musyrikin, merobohkan
bangunan usang, dan menebang pohon-pohon di tempat itu.
Lalu mulailah masjid
dibangun pada tahun pertama Hijriah. Nabi Muhammad juga ikut bekerja langsung
dalam pembangunan. Beliau mengangkat batu bata seraya melantunkan bait,
Ya Allah, tidak ada
kehidupan selain kehidupan akhirat
Ampunilah orang-orang
Anshar dan Muhajirin
Hal tersebut mampu
menambah semangat kaum Muslimin baik Muhajirin maupun Anshar untuk bekerja dengan
sungguh-sungguh. Mereka juga berkata, “Jika Nabi bekerja sedangkan kita
beristirahat, ini adalah kerja yang sesat”.
Masjid berada di tanah
yang luas. Kiblat masjid menghadap ke Baitul Maqdis (sebelum kiblat diubah ke
Masjidil Haram). Kedua sisi mihrab terbuat dari batu, sedangkan dinding masjid
terbuat dari bata dan tanah. Atap masjid terbuat dari pelepah kurma yang hanya
menutupi sebagian masjid dan tiangnya dari pangkal pohon kurma, sedangkan
lantai masjid diratakan dengan batu kerikil dan pasir. Terdapat tiga pintu di
masjid. Panjang masjid dari kiblat (depan) hingga belakang sekitar seratus
hasta, begitu juga lebarnya. Pondasinya sekitar tiga meter.
Pada malam hari tidak
ada penerangan di dalam masjid. Hanya saja pada waktu sholat Isya’ terdapat
penerangan dengan membakar jerami. Hal ini berlangsung selama sembilan tahun.
Sesudah itu menggunakan penerangan yang dipasang pada batang-batang kurma yang
dijadikan penopang atap.
Setelah masjid selesai
dibangun, Rasulullah membangun perumahan untuk isteri-isterinya di sekitar
masjid, yang terbuat dari tanah liat dengan atap pelepah kurma. Lalu beliau
pindah dari rumah Abu Ayyub Al Anshari. Tempat tinggal Nabi juga tidak lebih
mewah daripada masjid, tapi sudah sewajarnya jika lebih tertutup.
Pembangunan Masjid
Nabawi dan perumahan tidak memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana,
disesuaikan dengan petunjuk dari Rasulullah.
Selain digunakan
sebagai tempat shalat, pada saat itu Masjid Nabawi juga digunakan sebagai
tempat berkumpul kaum muslimin untuk berdiskusi dan membahas berbagai hal
penting dan menyelesaikan berbagai perkara di antara mereka. Di masjid ini,
kaum muslimin menerima berbagai ajaran Islam sebagai pedoman yang suci. Semua
suku yang saling berbeda dapat bertemu dan berbincang setelah dahulu mereka
selalu bertikai. Selain itu, masjid tersebut juga berfungsi sebagai tempat
tinggal bagi kaum Muhajirin yang tidak mendapatkan tempat tinggal atau tidak
mempunyai saudara di Madinah.
Berikut ini adalah
khutbah pertama Rasulullah di Madinah.
Ibnu Ishaq berkata,
“Khutbah pertama Rasulullah SAW, seperti dikatakan kepadaku dari Abu Salamah
bin Abdurrahman adalah – dan kita berlindung kepada Allah dari mengatakan
sesuatu kepada Rasulullah SAW yang tidak beliau ucapkan. Rasulullah berdiri di
depan kaum muslimin, kemudian memuji Allah dan menyanjung-Nya. Setelah itu
beliau berkata, “Amma Ba’du, Wahai manusia, persiapkan untuk kalian, niscaya
demi Allah, bahwa salah seorang dari kalian pasti meninggal dunia. Ia akan
tinggalkan kambing-kambingnya tanpa penggembala. Tuhan pasti berkata kepadanya
dan tidak ada penerjemah atau penghalang di antara keduanya, ‘Tidakkah telah
datang kepadamu Rasul-Ku, kemudian dia menyampaikan apa yang diterimanya
kepadamu? Bukankah Aku telah memberimu kekayaan dan melebihkanmu, namun kenapa
engkau tidak mempersembahkan sesuatu untukmu?’. Dia melihat ke kanan dan ke
kiri, tapi tidak melihat apapun. Dia melihat ke depan, dia tidak melihat apapun
selain neraka Jahannam. Barangsiapa mampu melindungi wajahnya dari neraka,
walaupun hanya dengan separuh biji kurma, hendaklah ia mengerjakannya.
Barangsiapa tidak mendapatkannya, hendaklah ia melindungi wajahnya dari neraka
dengan perkataan baik, karena sesungguhnya kebaikan dibalas dengan sepuluh
kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat lebih banyak. Akhirnya Assalamu’alaikum
Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh”.
Ini adalah khutbah
Rasulullah yang lain
Ibnu Ishaq berkata,
“Rasulullah SAW berkhutbah lagi kepada kaum Muslimin. Beliau berkata,
‘Sesungguhnya segala puji milik Allah. Aku memuji-Nya dan meminta
pertolongan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan kita dan kesalahan
kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang bisa
menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada yang bisa memberinya
petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah,
tak ada yang setara dengan Dia. Sesungguhnya perkataan paling baik adalah Kitab
Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sungguh beruntung orang yang hatinya dihiasi oleh
Allah dengan Kitab-Nya, memasukkannya ke dalam Islam setelah sebelumnya ia
kafir dan memilih AlQur’an daripada perkataan-perkataan manusia. Sesungguhnya Al
Qur’an adalah perkataan yang paling baik dan paling sempurna. Cintailah apa
saja yang dicintai Allah dan cintailah Allah dengan seluruh hati kalian. Kalian
jangan bosan dengan firman Allah dan ingat kepadanya. Janganlah hati kalian
keras terhadap Al Qur’an, karena sesungguhnya Allah memilih dari apa yang Dia
ciptakan. Sungguh, Allah telah memilih amal perbuatan yang paling baik, memilih
hamba-hamba-Nya, perkataan yang baik dan dari apa yang diberikan kepada
manusia, yang halal dan haram. Oleh karena itu, sembahlah Allah, jangan
menyekutukan-Nya dengan apapun, bertakwalah kepada-Nya dengan takwa yang
sebenar-benarnya, jujurlah kepada Allah dalam kebaikan yang kalian ucapkan
dengan mulut kalian dan hendaklah kalian saling mencintai karena Allah di
antara kalian, karena Allah sangat benci jika perjanjian-Nya dilanggar.
Akhirnya, Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh’”.
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal,
Muhammad Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah Hidup Muhammad.
·
Al-Mubarakfuriyy,
Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah,
Al-Raheeq Al-Makhtum.
·
Abu
Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.
No comments:
Post a Comment