Pada bulan
Shafar tahun 4 Hijriah, datanglan utusan dari Adhal dan Al Qarah untuk menemui
Nabi Muhammad di Madinah. Mereka berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya di kalangan kami ada beberapa orang yang telah masuk Islam. Oleh
karena itu, kami meminta agar Anda bersedia mengutus beberapa orang sahabatmu
untuk mengajarkan agama, membaca Al Qur’an, dan mengajarkan syariat Islam
kepada kami”.
Nabi Muhammad
bersedia melakukannya dan mengutus enam orang sahabat yang juga untuk menemani
perjalanan pulang utusan Adhal dan Al Qarah ke tempat asal mereka. Keenam orang
sahabat tersebut adalah Martsad bin Abu Martsad Al Ghanawi, Khalid bin Bukair Al
Laitsi, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adi, Zaid bin Ad Datsinah, dan Abdullah
bin Thariq. Nabi Muhammad menunjuk Martsad bin Abu Martsad sebagai pemimpin
rombongan keenam orang sahabat tersebut. Lalu keenam orang sahabat Nabi dan
utusan Adhal dan Al Qarah berangkat bersama-sama.
Saat mereka
sampai di Ar Raji’, nama sebuah mata air Hudzail dari arah Hijaz, tiba-tiba
utusan Adhal dan Al Qarah melakukan pengkhianatan kepada keenam sahabat Nabi
dan berteriak meminta bantuan kepada orang-orang Hudzail. Utusan Adhal dan Al
Qarah berkata kepada keenam sahabat Nabi, “Demi Allah, kami tidak berniat
membunuh kalian. Kami hanya ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang Quraisy
dengan menahan kalian. Kalian berhak atas janji Allah bahwa kami tidak akan
membunuh kalian walaupun hanya seorang”. Martsad bin Abu Martsad, Khalid bin Al
Bukair, dan Ashim bin Tsabit berkata, “Demi Allah, kami tidak menerima janji
atau kesepakatan dari orang-orang musyrik untuk selamanya”.
Maka ketiga
orang tersebut melawan orang-orang Hudzail hingga terbunuh. Menurut Ibnu Ishaq,
saat Ashim bin Tsabit terbunuh, orang-orang Hudzail hendak mengambil kepalanya
untuk dijual kepada Sulafah binti Sa’ad bin Syahid. Sebelumnya, Sulafah
bernazar setelah kedua anaknya tewas di perang Uhud, bahwa jika dia dapat
mengambil kepala Ashim bin Tsabit, dia akan menyiramkan minuman keras ke tulang
tengkoraknya. Namun keinginannya dihalangi oleh lebah-lebah yang berkerumun
yang menghalau orang-orang Hudzail hingga tidak bisa mendekati jasad Ashim bin
Tsabit. Mereka berkata, “Biarkan lebah-lebah tersebut hingga petang hari. Jika
lebah-lebah itu sudah pergi, kita ambil jasadnya”. Namun terjadi banjir besar
yang menghanyutkan jasad Ashim. Sebelumnya Ashim bersumpah bahwa dia tidak akan
pernah mau disentuh oleh tangan-tangan musyrik dan ia tidak menyentuhnya
selama-lamanya karena orang musyrik adalah najis.
Sedangkan Zaid
bin Ad Datsinah, Khubaib bin Adi, dan Abdullah bin Thariq merasa tidak mampu
berbuat apa-apa sehingga menyerahkan diri dan dijadikan tawanan oleh
orang-orang Hudzail. Lalu orang-orang Hudzail membawa ketiganya ke Mekkah untuk
dijual di sana. Saat mereka sampai di Dahran, masih dalam perjalanan, tiba-tiba
Abdullah bin Thariq berusaha melepaskan diri dan mengambil pedang. Namun
orang-orang Hudzail tidak membiarkannya begitu saja dan menghantamnya dengan
batu hingga dia meninggal. Maka kuburan Abdullah bin Thariq kini berada di
Dahran. Sedangkan orang-orang Hudzail meneruskan perjalanan ke kota Mekkah
dengan tetap membawa Khubaib bin Adi dan Zaid bin Ad Datsinah. Orang-orang
Hudzail menawarkan keduanya kepada orang-orang Quraisy agar ditukar dengan dua
tawanan orang-orang Hudzail di Mekkah.
Khubaib bin Adi
dibeli oleh Abu Ihab At Tamimi. Dia sengaja membelinya untuk dibunuh sebagai
balas dendam atas kematian ayahnya. Khubaib bin Adi diseret oleh orang-orang
Quraisy hingga ke luar Mekkah yaitu di Ta’nim dan dia akan disalib. Khubaib
berkata kepada mereka, “Bisakah aku shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum
membunuhku?”. Mereka berkata, “Silakan”. Lalu Khubaib mengerjakan sholat dua
rakaat dengan baik dan sempurna. Setelah itu, Khubaib menemui mereka dan
berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak akan mengira bahwa aku takut mati
dengan mengulur waktu sholatku, maka aku mengulurnya”.
Kemudian
orang-orang Quraisy mengangkatnya ke atas kayu. Saat mereka telah mengikatnya,
Khubaib berkata, “Ya Allah, sesungguhnya risalah Nabi-Mu telah kami sampaikan.
Maka sampaikan pada beliau apa yang mereka lakukan terhadapku esok hari. Ya
Allah, pastikan jumlah mereka, musnahkanlah mereka secara terpisah, dan jangan
biarkan satu orang pun dari mereka yang selamat”.
Abu Sufyan
berkata kepadanya, “Sukakah engkau jika Muhammad sekarang berada di sisi kami
dan kami tebas lehernya sedangkan kamu bersama keluargamu”.
Khubaib
menjawab, “Demi Allah, sungguh aku tidak rela jika aku bersama keluargaku,
sedangkan Muhammad berada di tempatnya terkena duri yang menyakitinya”.
Lalu Khubaib
dibunuh.
Sedangkan Zaid
bin Ad Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh sebagai balas
dendam atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf. Shafwan menyuruh budaknya
yang bernama Nisthas untuk membawa Zaid bin Ad Datsinah bersama orang-orang
Quraisy ke suatu tempat dan Zaid dibunuh oleh Nisthas.
Keduanya telah
gugur sebagai syahid, untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh suci tersebut kembali
kepada Tuhannya. Padahal, sebenarnya mereka dapat menyelamatkan diri dari
pembunuhan itu jika mereka mau meninggalkan agama Islam. Namun keyakinan mereka
kepada Allah SWT dan hari akhir, keyakinan bahwa setiap jiwa akan mendapatkan
balasan sesuai perbuatannya, mereka yakin bahwa tujuan hidup yang paling baik
adalah demi akidah, demi iman, dan demi kebenaran. Mereka yakin bahwa darah
mereka yang tumpah ke bumi adalah suatu proses agar kaum muslimin mampu
memasuki kota Mekkah sebagai pihak yang menang dan mengembalikan kesucian Ka’bah
sebagai rumah Allah.
Referensi:
·
Mubarakfuri,
Syekh Shafiyyur-Rahman, dan Haidir, Abdullah (Penerjemah). 2005. Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah.
Riyadh: Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang Al-Sulay.
·
Haekal,
Muhammad Husain, dan Audah, Ali (Penerjemah). Sejarah Hidup Muhammad.
·
Al-Mubarakfuriyy,
Syeikh Safy Al-Rahman. Seerah Nabawiyyah,
Al-Raheeq Al-Makhtum.
·
Abu
Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam. 2000. Jakarta Timur: Darul Falah.
No comments:
Post a Comment